Oleh: tulisan saya, SH.,MH

Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No.25/PUU-XIV/2016 yang diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi pada Tanggal 25 Januari 2017, atas Perkara Pengujian Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,  yang diajukan oleh Firdaus S.T.,M.T., Drs.H.Yulius Nawawi, Ir.H.Imam Mardi Nugroho, Ir.H.A.Hasdullah, M.Si, H.Sudarno Eddi, SH.,MH, Jamaludin Masuku, SH., Jempin Marbun, SH.

Para Pemohon Mengajukan Permohonan Pengujian atas Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Pengujian Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Juncto Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ( UU TIPIKOR), Khususnya Frasa “ atau orang lain atau suatu Korporasi” dan kata “ dapat” yang selengkapnya berbunyi : 

Pasal 2 ayat (1) :
“Setiap Orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasiyang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian Negara, dipidana dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (Dua Puluh) Tahun dan denda paling sedikit Rp.200.000.000,00 (Dua Ratus Juta Rupiah) dan Paling banyak Rp.1.000.000.000,00 ( Satu Milyar Rupiah).

Pasal 3 :
“ Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi,Menyalahgunakan kewenangan, Kesempatan atau sarana yang ada padanya karena Jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian Negara, dipidana dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (Dua Puluh) Tahun dan denda paling sedikit Rp.50.000.000,00 (Lima Puluh Juta Rupiah) dan Paling banyak Rp.1.000.000.000,00 ( Satu Milyar Rupiah).

Meski tidak bulat, akhirnya Mahkamah Konstitusi (MK) “Menyatakan kata ‘dapat’dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya;” demikian bunyi amar putusan bernomor 25/PUU-XIV/2016 yang dibacakan Majelis Mahkamah Konstitusi.

Demikian dengan dihapusnya kata dapat dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat lagi maka secara otomatis Pasal 2 ayat (1) dan pasal 3 UU TIPIKOR yang selama ini menjadi Pasal Pamungkas untuk menjerat para Terdakwa Kasus Tipikor dalam Penerapan unsur merugikan keuangan negara, mengalami Pergeseran yang sebelumnya sebagai Delik Formil berubah menjadi Delik Materiil.

Sebelumnya Mahkamah Konstitusi dalam Putusannya Nomor 003/PUU-III/2006 Tanggal 25 Juli 2006, yang telah mempertimbangkan ada atau tidaknya tindak pidana Korupsi TIDAK tergantung pada ada atau tidaknya kerugian negara tetapi cukup dibuktikan telah ada perbuatan melawan hukum sehingga ada atau tidak ada kata “ dapat” tidak penting lagi. Putusan Nomor 003/PUU-III/2006 menjadikan delik Korupsi sebagai delik Formil
Menurut Pendapat para Ahli antara lain: 

1.    Prof.H.A.S Natabaya , SH.,LL.M , didalam keterangannya menyatakan Bahwa kata “ dapat” dalam Pasal 2 dan Pasal 3 menimbulkan ketidakpastian Hukum, padahal dalam tindak pidana korupsi adanya kerugian negara harus pasti yang dalam hal ini ditentukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan. (Vide Putusan Mahkamah Konstitusi No.25/PUU-XIV/2016).

2.    Prof.Dr.Eddy O.S Hiariej, SH.,M.Hum, Pada Tahun 2009 pernah diminta untuk melakukan Review terhadap penelitian yang dilakukan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kejaksaan Agung Republik Indonesia mengenai Pasal-pasal yang digunakan untuk menjerat pelaku tindak Pidana Korupsi. Hasil Penelitian tersebut menunjukkan 80% tersangka Korupsi selalu dijerat Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Mengapa kedua Pasal tersebut sering digunakan oleh Penegak Hukum ? Pertama, Kedua Pasal tersebut mengandung norma hukum kabur yang dapat digunakan untuk menjerat siapapun yang dilakukan perbuatan apapun. Norma kabur pada hakikatnya bertentangan dengan prinsip Nullum Crimen Nulla poena sine lege certa sebagai syarat mutlak yang terkandung dalam asas Legalitas. Kedua, Konsekuensi Logis suatu norma kabur, di persidangan sangat mudah dibuktikan oleh Penuntut Umum. Ketiga, Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi secara keseluruhan disusun dalam suasana kebatinan reformasi yang menuntut membasmi Korupsi sampai ke akar-akarnya sehingga menggunakan hukum Pidana sebagai Lex Talionis atau Hukum balas Dendam. Penggunaan Hukum pidana sebagai Lex Talionis sudah tidak sesuai lagi dengan paradigma hukum pidana Modern...dst. (Vide Putusan Mahkamah Konstitusi No.25/PUU-XIV/2016).

Hal tersebut merupakan pergeseran Penegakan Hukum ke arah yang lebih realistis dalam menentukan kerugian negara bagi para Penegak Hukum. karena Kerugian Negara yang didalilkan oleh Penegak Hukum sudah tidak lagi hanya didasarkan pada Perkiraan kerugian Negara ( Potential Loss ), akan tetapi harus benar-benar Kerugian yang nyata-nyata telah terjadi ( Actual Loss).

Selain Delik Materiil yaitu adanya Kualifikasi Kerugian yang benar-benar ada ( Actual Loss) tersebut pada dasarnya sesuai dengan Pasal 1 Angka 22 Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dinyatakan “ Kerugian Negara/ Daerah adalah kekurangan uang, Surat Berharga, dan Barang, yang Nyata dan Pasti Jumlahnyasebagai akibat perbuatan melawan Hukum baik sengaja maupun Lalai.”

Mahkamah Konstitusi dalam Pertimbangan Putusannya juga menerangkan, bahwa dengan keberadaan UU Administrasi Pemerintahan dikaitkan dengan kata “dapat” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor menurut Mahkamah menyebabkan terjadinya pergeseran Paradigma penerapan unsur merugikan keuangan negara dalam tindak pidana Korupsi. Selama ini berdasarkan  Putusan Nomor 003/PUU-III/2006 pemahaman kata “ dapat “ dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor menyebabkan perbuatan yang akan dituntut di Depan Pengadilan bukan saja karena perbuatan Tersebut “ merugikan keuangan negara atau perekonomian secara nyata” akan tetapi hanya “ dapat” menimbulkan kerugian saja pun sebagai kemungkinan atau Potential loss, jika unsur perbuatan tindak pidana korupsi dipenuhi, sudah dapat diajukan ke Pengadilan.

Dengan penggunaan paradigma penerapan unsur merugikan keuangan negara berdasarkan  Putusan Nomor 003/PUU-III/2006, bukan tidak mungkin Kedua Pasal UU Tipikor tersebut dijadikan sebagai senjata dalam membidik calon Target Tersangka pejabat pemerintahan atau aparatur Sipil Negara yang akan dikriminalisasi dan dijatuhkan dengan menggunakan Peluru Tindak Pidana Korupsi.

Konsekuensinya dari dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi No.25/PUU-XIV/201 adalah, jika akibat yang dilarang yakni “merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” belum atau tidak terjadi meskipun unsur “secara melawan hukum” dan unsur “memperkaya diri sendiri atau atau orang lain atau suatu korporasi” telah terpenuhi, maka berarti dinyatakan belum terjadi tindak pidana korupsi.

Pasca Putusan ini , menjadi acuan bagi para penegak hukum untuk lebih mendalam lagi dalam penyelidikan dan penyidikannya serta pengumpulan minimal dua alat bukti yang cukup jika akan menetapkan seorang sebagai Tersangka dalam dugaan tindak Pidana Korupsi.  

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama