MENCERMATI PENERAPAN PASAL 36 UUJF DAN PASAL 372 KUHP ATAS JAMINAN FIDUSIA YANG TIDAK DIDAFTARKAN

Oleh :

tulisan saya, SH.,MH

       Dalam prakteknya sekarang ini ternyata masih ada beberapa kreditur (Pemegang Fidusia) yang tidak mendaftarkan pembebanan benda dengan Jaminan Fidusia. Akan tetapi ketika debitur wanprestasi dan mengalihkan benda jaminannya kepada orang lain, mereka menempuh jalur hukum seolah-olah benda tersebut didaftarkan.

Jalur hukum yang ditempuhnya pun seolah sama dengan pembebanan benda jaminan fidusia yang didaftarkan, yaitu dengan melaporkan ke kepolisian dengan dasar menggunakan Pasal 36 UUJF ataupun dengan menggunakan pasal 372 KUHP atas dugaan  Penggelapan.
Kedua pasal sebagaimana tersebut diatas adalah serupa tapi tak sama. Karena pasal 36 UUJF merupakan asas lex specialis derogat legi generalis yaitu hukum yang bersifat khusus mengesampingkan hukum yang bersifat umum. Artinya UUJF mengesampingkan Undang-undang yang bersifat umum yaitu KUHP.

Mencermati penggunaan dasar pasal 36 UUJF atas Jaminan Fidusia yang tidak didaftarkan

maka kita sebaiknya melihat dasar hukum sebelum ke pasal 36 UUJF, yaitu 

Pasal 4 UUJF :

 Jaminan Fidusia adalah perjanjian ikutan dari suatu perjanjian pokok yang menimbulkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi suatu prestasi. Perjanjian Pokoknya adalah Pinjam-meminjam Uang antara Debitor sebagai Pemberi Fidusia dan Kreditor sebagai Pemegang Fidusia.

Pasal 5 UUJF : 

(1) Pembebanan benda dengan jaminan fidusia dibuat dengan akta notaris dalam bahasa Indonesia dan merupakan akta Jaminan Fidusia;
(2) Terhadap pembuatan Akta jaminan fidusia dikenakan biaya yang besarnya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Apakah perjanjian pembebanan benda jaminan fidusia tersebut dibuat dengan akta notaris ? jika YA , maka ketentuan dalam pasal 5 UUJF telah terpenuhi.

Pasal 11 UUJF  

bahwa benda yang dibebani dengan jaminan fidusia wajib didaftarkan.
Apakah perjanjian pembebanan benda jaminan fidusia tersebut sudah didaftarkan ? jika YA , maka ketentuan pasal 11 UUJF telah terpenuhi.

Sehingga jika kedua pasal tersebut telah terpenuhi maka sebagai wujud dari dipenuhinya UUJF, pemegang fidusia akan menerima Sertifikat Jaminan Fidusia yang memuat irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
 
Dimana irah-irah pada sertifikat jaminan fidusia tersebut artinya memiliki kekuatan eksekutorial yaitu kekuatan yang sama dengan putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap. 

       Kekuatan hukum tetap tersebut yang dimaksud pada sertifikat jaminan fidusia adalah kekuatan berupa hak eksekutorial (parate eksekusi) apabila debitor melakukan pelanggaran perjanjian fidusia kepada kreditor sesuai UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.

Oleh karena itu apabila pembebanan benda jaminan fidusia tidak memenuhi pasal-pasal sebagaimana disebutkan diatas, maka perjanjian Jaminan Fidusia yang tidak dibuat dengan akta notaris dan tidak didaftarkan, tidak dilindungi oleh UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, yang berakibat pemegang fidusia tidak dapat menyelesaikan permasalahan pengalihan benda jaminan fidusia tersebut oleh pemberi fidusia (Debitur) berdasarkan Pasal 36 UUJF.


Mencermati penggunaan dasar pasal 372 KUHP atas Pengalihan benda Jaminan Fidusia yang tidak didaftarkan.

Sebelum kita mencermati penggunaan pasal 372 KUHP maka kita cermati pasal Pasal 4 UUJF, yang berbunyi bahwa Jaminan Fidusia adalah perjanjian ikutan dari suatu perjanjian pokok yang menimbulkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi suatu prestasi. 

Sehingga kesimpulannya bahwa Perjanjian Pokoknya adalah Pinjam-meminjam Uang antara Debitor sebagai Pemberi Fidusia dan Kreditor sebagai Pemegang Fidusia, dan perjanjian fidusia itu sendiri merupakan perjanjian tambahan yang mengikuti perjanjian pokoknya.

Perjanjian fidusia tidak dapat berdiri sendiri berdasarkan pasal 4 UUJF, sehingga tidak dapat menimbulkan akibat hukum jika tidak mengikuti pada perjanjian pokoknya.

Jika melihat sumber dari perjanjian fidusia (Yang tidak Didaftarkan) adalah Perjanjian pinjam meminjam uang yang merupakan ranah keperdataan, maka kembali berlaku Pasal 1320 dan Pasal 1338 KUHPerdata, yaitu :

Pasal 1320

Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat:
1. sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. suatu hal tertentu;
4. suatu sebab yang halal.

Pasal 1338 ( asas perjanjian pacta sun servanda )

Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.
Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.

Jika perjanjian pinjam meminjam uang yang menjadi dasar timbulnya perjanjian fidusia (tidak Didaftarkan ) telah memenuhi kedua pasal tersebut diatas, maka perjanjian tersebut telah sah secara hukum dan mengikat kepada kedua belah pihak.

Jika debitur didalam hal perjanjian ini Wanprestasi maka Kreditur hanya dapat mengambil pelunasan atas kepemilikan benda yang menjadi jaminan fidusia (tidak Didaftarkan ) melalui penetapan Pengadilan, karena kreditur tidak memiliki sertifikat Jaminan Fidusia yang mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Berkaitan dengan pengalihan benda jaminan fidusia (tidak Didaftarkan ) dengan Pasal 372 KUHP. Mari kita cermati satu persatu :

1. Pasal 4 UUJF, berbunyi bahwa Jaminan Fidusia adalah perjanjian ikutan dari suatu perjanjian pokok yang menimbulkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi suatu prestasi. Artinya benda Jaminan fidusia  (tidak Didaftarkan ) yang menjadi jaminan atas pelunasan utang debitur secara serta merta mengikuti Perjanjian Pokoknya Pinjam meminjam uang yang menjadi ranah keperdataan.

2.  apabila debitor mengalihkan benda objek fidusia yang dilakukan dibawah tangan kepada pihak lain tidak dapat dijerat dengan UU No. 42 Tahun 1999 Tentang jaminan fidusia, karena tidak syah atau legalnya perjanjian jaminan fidusia yang dibuat.  Mungkin saja debitor yang mengalihkan barang objek jaminan fidusia di laporkan atas tuduhan penggelapan sesuai 

Pasal  372 KUHPidana menandaskan: Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah.

Oleh kreditor, tetapi ini juga bisa jadi blunder karena bisa saling melaporkan karena sebagian dari barang tersebut menjadi milik berdua baik kreditor dan debitor, dibutuhkan keputusan perdata oleh pengadilan negeri setempat untuk mendudukan  porsi masing-masing pemilik barang tersebut untuk kedua belah pihak.  Jika hal ini ditempuh maka akan terjadi proses hukum yang panjang, melelahkan dan menghabiskan biaya yang tidak sedikit. Akibatnya, margin yang hendak dicapai perusahaan tidak terealisir bahkan mungkin merugi, termasuk rugi waktu dan pemikiran. ( http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol17783/eksekusi-terhadap-benda-objek-perjanjian-fidusia-dengan-akta-di-bawah-tangan)

Sehingga pasal 372 KUHP tidak dapat serta merta diterapkan atas perbuatan Debitur yang mengalihkan benda jaminan fidusia ( yang tidak didaftarkan) karena :

1. perjanjian pokok yang menjadi dasar terbitnya perjanjian fidusia adalah utang piutang yang masuk dalam ranah keperdataan.

2. sebelum memperoleh Putusan dari Pengadilan Negeri Setempat yang menyatakan siapa yang berhak dan sah secara hukum atas kepemilikan benda yang menjadi Jaminan Fidusia tersebut karena benda jaminan fidusia tersebut sebagian adalah milik Kreditur dan sebagian lagi adalah milik Debitur.  

Oleh karena itu Pembebanan benda Jaminan Fidusia yang tidak didaftarkan pada akhirnya akan sangat merugikan Kreditur itu sendiri, karena tidak adanya jaminan kepastian hukum sebagaimana yang telah diatur oleh UU No. 42 Tahun 1999 Tentang jaminan fidusia.


Post a Comment

Lebih baru Lebih lama