Oleh :
tulisan saya, SH.,MH

PENDAHULUAN

       Salah satu hasil perkembangan teknologi informasi adalah jual beli yang dilakukan melalui media elektronik dan dikenal dengan kontrak jual beli secara elektronik.  Berdasarkan sumber hukum di Indonesia, suatu kontrak jual beli harus memiliki beberapa klausula-klausula yang tekstual, yaitu berbentuk akta atau kontrak secara tertulis, jelas, dan nyata, baik berupa akta otentik maupun akta dibawah tangan. Berdasarkan ketentuan hukum jual beli yang berlaku ada beberapa hal yang bersifat essensial dalam proses jual beli, yaitu mengenai hak dan kewajiban para pelakunya dalam melakukan kontrak jual beli yang ditegaskan pada saat adanya kesepakatan jual beli sebagai pendukung keabsahan pembuktian dari suatu perjanjian jual beli tersebut. Ada beberapa hal yang sering muncul dalam kontrak jual beli melalui media elektronik ini yang timbul sebagai suatu kendala antara lain masalah perjanjian, perpajakan, tata cara pembayaran, peradilan, perlindungan hukum, tanda tangan elektronik, penyelesaian sengketa yang terbentuk dalam suatu sistem jaringan kerja secara langsung. Masalah-masalah tersebut menimbulkan suatu permasalahan hukum antara lain mengenai aspek hukum perjanjiannya yang sangat dibutuhkan dalam pembuktian agar memenuhi kepastian hukum, dalam hal ini dokumen berwujud nyata atau tertulis sebagaimana terjadi dalam jual beli secara konvensional.  Sementara itu kontrak jual beli secara elektronik dilakukan didalam dunia maya (virtual world), tanpa adanya dokumen nyata yang tertulis seperti akta, baik akta otentik maupun akta dibawah tangan, kondisi seperti itu akan menimbulkan kesulitan dalam melakukan pembuktian apabila terjadi sengketa pada jual beli secara elektronik tersebut. 

PERMASALAHAN
  1. Bagaimana kekuatan hukum pembuktian pada kontrak jual beli yang dilakukan secara elektronik ?
  PEMBAHASAN

       Jual beli adalah perjanjian dengan mana penjual memindahkan atau setuju memindahkan hak milik atas barang kepada pembeli sebagai imbalan sejumlah uang yang disebut harga.[1]
kontrak elektronik adalah perjanjian para pihak yang dibuat melalui system elektronik. Sedangkan sistem elektronik itu sendiri adalah serangkaian perangkat dan prosedur elektronik yang berfungsi mempersiapkan, mengumpulkan, mengolah, menganalisis, menyimpan, menampilkan, mengumumkan, mengirimkan, dan atau menyebarkan informasi elektronik. Hal ini diatur dalam Pasal 1 angka 5 UU ITE.
Ciri-ciri dari kontrak elektronik adalah : [2]
1. Dapat terjadi secara jarak jauh bahkan dapat melampaui batas-batas suatu negara melalui internet;
2. Para pihak dalam kontrak elektronik tidak pernah bertatap muka (faceless nature),         bahkan mungkin tidak akan pernah bertemu.
kehadiran internet pada sektor hokum memunculkan berbagai persoalan hukum yang mendasar. Salah satu persoalan hukum tersebut adalah berkaitan dengan hukum kontrak. Sampai saat ini diakui bahwa aturan hukum kontrak konvensional belum mampu menjangkau sepenuhnya secara elektronik.[3] Kontrak jual beli yang dilakukan secara elektronik mendasarkan pada adanya  azas kebebasan berkontrak dalam suatu perjanjian atau kontrak, para pihak bebas untuk menentukan bentuk, macam, dan isi perjanjian dan juga bebas untuk menentukan risiko para pihak yang terikat oleh suatu perjanjian. Pada penjualan, kontrak dan kesepakatan terbatas pada hal-hal yang berhubungan dengan penjualan barang-barang pada masa kini dan masa yang akan datang, dan kontrak penjualan meliputi sebuah transaksi penjualan pada saat ini serta kontrak penjualan pada masa yang akan datang. [4]Atas dasar fakta kontrak yang dilakukan secara elektronik dimana transaksi pada kontrak tersebut dilakukan secara jarak jauh, para pihak yang belum pernah mengenal sebelumnya, objek perjanjian yang hanya bisa dilihat melalui layar computer saja, permasalahan yang muncul bagaimana jika ada salah satu pihak wanprestasi atau dalam transaksi tersebut mengandung unsure penipuan ? bagaimana salah satu pihak yang dirugikan dalam membuktikannya, bagaimana kekuatan pembuktian agar bisa membuktikan bahwa salah satu pihak benar-benar dirugikan akibat transaksi jual beli yang dilakukan secara elektronik tersebut ? Menurut Paton dalam bukunya A Textbook Of Jurisprudence disebutkan bahwa, alat bukti dapat bersifat oral, documentary, atau materiil, alat bukti yang bersifat oral merupakan kata-kata yang diucapkan seorang dalam pengadilan, artinya kesaksian tentang suatu peristiwa merupakan alat bukti yang bersifat oral, alat bukti yang bersifat documentary adalah alat bukti yang surat atau alat bukti tertulis, sedang alat bukti yang bersifat materiil adalah alat bukti barang fisik yang tampak atau dapat dilihat selain dokumen.[5]
Dalam perkara perdata (civil cases) pasal 164 HIR disebutkan alat-alat bukti yang sah, yaitu: bukti surat, bukti saksi, bukti sangka, pengakuan, dan sumpah.  Sedangkan dalam perkara pidana, dalam pasal 184 KUHAP menyebutkan alat bukti yang terdiri dari: keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa.  Dalam kaitannya dengan hubungan hukum yang terjadi melalui media internet, mengenai masalah pembuktiannya dalam hal alat bukti tertulis sangat sulit untuk dibuktikan, karena transaksi yang dilakukan melalui media internet tidak dituliskan diatas kertas yang dapat disimpan dan juga tidak selalu terdapat kwitansi sebagai tanda pembayaran yang ditandatangani pihak penerima pembayaran tersebut[6].  Selanjutnya mengenai masalah penandatangannan dokumen transaksi sulit dinyatakan secara tertulis, karena tanda tangan digital bukan merupakan tanda tangan yang dibubuhkan oleh pelaku transaksi di atas dokumen, melainkan hanya berupa kumpulan beberapa code digital yang disusun dan diacak dengan suatu sistem elektronik tertentu. Demikian pula pembuktian dengan surat yang mengharuskan adanya pembayaran bea materai atas setiap surat atau dokumen, sedangkan dalam transaksi secara on-line, suatu kontrak atau perjanjian hanya dilakukan dengan pengisian formulir yang disediakan oleh pelaku usaha bekerjasama dengan provider secara on-line, dan tidak terdapat kemungkinan pembubuhan materai pada  dokumen tersebut[7].

KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan mengenai kekuatan pembuktian suatu kontrak elektronik (econtract) tersebut dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Proses transaksi komersial konvensional yaitu terdiri dari proses penawaran, penerimaan penawaran (pembelian), pembayaran, dan penyerahan barang. transaksi kontrak jual beli elektronik atau komersial konvensional (econtract) dilakukan tanpa tatap muka dan prosesnya terjadi lebih cepat serta lebih mudah. Namun, pada prakteknya (khususnya di Indonesia) masih terdapat banyak perbedaan pendapat mengenai keabsahan suatu kontrak elektronik (econtract). Para pelaku transaksi komersial elektronik berpendapat bahwa kontrak yang terjadi akibat transaksi komersial elektronik adalah sah. Dari kalangan notaris-pun berpendapat bahwa kontrak elektronik dapat dianggap sah dengan mengingat bahwa ada hal-hal tertentu yang tidak bisa dijadikan obyek dalam kontrak elektronik, misalnya benda yang terdaftar (benda tidak bergerak). Sebaliknya, pihak pengadilan berpendapat bahwa kontrak demikian sulit dikatakan sebagai kontrak yang sah karena tidak ada jaminan bahwa kontrak tersebut telah memenuhi syarat sahnya suatu perjanjian seperti yang diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, khususnya dalam hal kapan terjadinya kesepakatan dan kecakapan para pihak.[8]
2. Dalam perkara perdata Mengenai kekuatan kontrak elektronik (e-contract) sebagai alat bukti dalam persidangan jika terjadi sengketa terdapat pendapat-pendapat yang berbeda. Para pelaku transaksi komersial elektronik elektronik berpendapat bahwa kontrak elektronik dapat digunakan sebagai alat bukti jika terjadi sengketa Sebagian praktisi hukum berpendapat bahwa dokumen yang dikirim melalui email dan kemudian dicetak dapat dianggap sama dengan surat asli dan karenanya dapat digunakan sebagai alat bukti. Pendapat dari pihak pengadilan menyatakan bahwa suatu kontrak elektronik walaupun sudah dicetak masih sulit diterima sebagai alat bukti sesuai dengan ketentuan mengenai alat-alat bukti yang sah dalam hukum acara perdata.

 
 
DAFTAR PUSTAKA


 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perjanjian, Bandung: Alumni, 1980, hlm.95
     Asfandi, “Skripsi E-commerse,” http://.indoskripsi.com/tugas-makalah-judulskripsi/mata-kuliah/hokum pidana.   Diakses 6 Juni 2013
     Ridwan Khairandy,” Pembaharuan Hukum Kontrak sebagai Antisipasi Transaksi Elektronik Commerce” , Artikel Jurnal Hukum UII, Yogyakarta 2001
    M. Arsyad Sanusi, “E-Commerce Hukum Dan Solusinya”, Bandung: PT. Mizan Grafika Sarana, 2001
    Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Edisi Keempat,  Yogyakarta: Liberty, 1993
    Asril Sitompul, “ Hukum Internet ”, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,  2001
    Sylvia Christina Aswin, Tesis “ Keabsahan Kontrak Dalam Transaksi Komersial Elektronik”, Program Pasca Sarjana, Universitas Diponegoro, Semarang, 2006






       [1] Abdulkadir Muhammad, Hukum Perjanjian, Bandung: Alumni, 1980, hlm.95
       [2]Asfandi, “Skripsi E-commerse,” http://.indoskripsi.com/tugas-makalah-judulskripsi/mata-kuliah/hokum pidana. Diakses 6 Juni 2013
       [3] Ridwan Khairandy,” Pembaharuan Hukum Kontrak sebagai Antisipasi Transaksi Elektronik Commerce” , Artikel Jurnal Hukum UII, Yogyakarta 2001. Hlm 43.
      [4] M. Arsyad Sanusi, “E-Commerce Hukum Dan Solusinya”, Bandung: PT. Mizan Grafika Sarana, 2001, hlm. 38.
               [5] Sudikno Mertokusumo, HUKUM ACARA PERDATA INDONESIA, Edisi Keempat, Yogyakarta: Liberty, 1993, hlm. 119
[6] Asril Sitompul, “ Hukum Internet ”, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,  2001, hlm. 88.

[7] Ibid.,  hlm. 89. 
                [8] Sylvia Christina Aswin, Tesis “ Keabsahan Kontrak Dalam Transaksi Komersial Elektronik”, Program Pasca Sarjana, Universitas Diponegoro, Semarang, 2006

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama