Oleh : tulisan saya, SH

       perkembangan Perbankan di Indonesia semakin maju Pesat, hal tersebut ditunjukkan dengan semakin maraknya Bank-bank yang didirikan untuk memacu pertumbuhan perekonomian di Indonesia.  Dari beberapa banyaknya bank-bank besar atau bank Umum yang ada, juga berkembang pesat Bank-bank yang masuk dalam kategori kecil yang bertujuan untuk memberikan Kredit kepada masyarakat dengan persyaratan-persyaratan yang tidak seketat Bank Umum. Dalam Hal ini adalah Bank Perkreditan Rakyat atau BPR.
       BPR yang semakin banyak dan menjamur di Indonesia ini, perkembangannya sangat dipengaruhi oleh pemberian Kredit yang diberikan kepada Masyarakat yang memiliki usaha untuk kemajuan usahanya. Berbagai promosi dan layanan yang ditawarkan BPR kepada masyarakat pun sangat kompetitif. Sebagian produk bank berupa pemberian kredit yang dikucurkan kepada masyarakat diikat dengan Jaminan Benda bergerak. Berdasarkan ketentuan perundang-undangan di Indonesia atas kredit yang diikat dengan jaminan benda bergerak diatur dalam Undang-undang No.42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia atau disingkat dengan UUJF. Produk bank berupa kredit yang diikat dengan jaminan benda bergerak tersebut adalah yang dijaminkan berupa Hak Kepemilikannya atas benda bergerak tersebut bukan bendanya, oleh karena itu jaminan hak kepemilikan atas benda bergerak itu disebut sebagai Jaminan Fidusia.
       Berdasarkan pasal 1 ayat (2) UUJF, dinyatakan bahwa :
Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan Pemberi Fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Penerima Fidusia terhadap kreditor lainnya.
       Berdasarkan ketentuan pasal tersebut diatas maka, BPR dalam memberikan Kredit kepada nasabah debitor dengan Jaminan fidusia adalah sah menurut hokum, dengan segala ketentuan yang diatur terkait masalah fidusia tunduk dalam UUJF. Pemberian kredit dari Bank kepada masyarakat, dilakukan dengan menggunakan Perjanjian Kredit yang disepakati dan mengikat para pihak yang melakukan perjanjian. Sebagaimana hal ini tunduk dalam
Pasal 1754 KUH Perdata yang dkutip sebagai berikut: 
“Pinjam meminjam ialah perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang habis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang belakangan ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula.”
        Kesepakatan yang melahirkan hubungan keperdataan dalam hal ini utang piutang, tentu menjadi undang-undang kepada para pihak sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1338 KUH Perdata yang berbunyi sebagai berikut:
 “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”
       Sehingga, kesepakatan mengenai hak dan kewajiban para pihak yang tertuang dalam perjanjian utang piutang tersebut harus dengan iktikad baik dilaksanakan.
     Hak dan Kewajiban para pihak dituangkan didalam isi perjanjian kredit yang memuat subyek, obyek perjanjian, identitas Jaminan, jangka waktu Perjanjian Kredit, Wanprestasi dan lain-lain.
Apabila ternyata Debitor dinyatakan wanprestasi , maka berdasarkan UUJF , Bank sebagai Kreditor pemegang Fidusia dapat langsung melakukan eksekusi terhadap benda Jaminan Fidusia tersebut. Kategori wanprestasi mengkategorikan ada 4 (empat) keadaan, yaitu:
1.   Sama sekali tidak memenuhi.
2.   Tidak tunai memenuhi prestasi.
3.   Terlambat memenuhi prestasi.
4.   Keliru memenuhi prestasi.
       Sehingga, pihak si berutang dapat dikatakan berada dalam keadaan wanprestasi apabila telah menerima teguran (sommatie/ingebrekestelling) supaya memenuhi kewajibannya untuk melunasi utangnya. Hal tersebut diatur dalam Pasal 1238 KUH Perdata yang dikutip sebagai berikut:
 “Si berutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatannya sendiri, ialah jika ini menetapkan, bahwa si berutang harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan.”
       Hak Kreditor sebagai pemegang Fidusia terhadap Debitor yang dinyatakan wanprestasi diatur dalam UUJF Sebagaimana dalam Pasal 29, yaitu :
(1) Apabila debitor atau Pemberi Fidusia cidera janji, eksekusi terhadap Benda yang menjadi
      objek Jaminan Fidusia dapat dilakukan dengan cara:
          a. pelaksanaan titel eksekutorial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) oleh
              Penerima Fidusia.
          b. penjualan Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia atas kekuasaan
              Penerima Fidusia sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan               piutangnya dari hasil penjualan
          c. penjualan di bawah tangan yang dilakukan berdasarkan kesepakatan Pemberi dan
              Penerima Fidusia jika dengan cara demikian dapat diperoleh harga tertinggi yang
              menguntungkan para pihak.
  (2) Pelaksanaan penjualan sebagaimana dimaksud dalama ayat (1) huruf c dilakukan setelah
        lewat waktu 1 (satu) bulan sejak diberitahukan secara tertulis oleh Pemberi dan atau
        Penerima Fidusia kepada pihak-pihak yang berkepentingan dan diumumkan sedikitnya   dalam 2 (dua) surat kabar yang tersebar di daerah yang bersangkutan.

KEKELIRUAN PEMEGANG FIDUSIA DALAM MENJUAL BENDA JAMINAN FIDUSIA
       Pada saat debitor telah dinyatakan wanprestasi, maka Kreditor demi hokum dapat mengambil benda yang kepemilikannya sudah menjadi jaminan atas utang debitor tersebut. Hanya saja, banyak sekali pemegang fidusia yang kurang memahami tentang permasalahan penjualan atas objek jaminan fidusia tersebut untuk pelunasan utang debitor. Tindakan Kreditor pemegang fidusia biasanya menjual barang jaminan fidusia tersebut tanpa melalui pelelangan umum maupun atas dasar kesepakatan dengan pemberi fidusia yang menjadi dasar dilakukannya penjualan dalam UUJF. Perbuatan tersebut dapat dikatakan sebagai perbuatan melawan hokum yang bisa mengakibatkan batalnya penjualan benda jaminan tersebut.
Karena dalam UUJF Pasal 32 menyatakan :
“ Setiap janji untuk melaksanakan eksekusi terhadap Benda yang menjadi objek Jaminan
Fidusia dengan cara yang bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 29 dan Pasal 31, batal demi hukum. “
       Dengan melihat ketentuan sebagaimana tersebut diatas pada dasarnya setiap penjualan benda jaminan fidusia yang tidak melalui mekanisme yang diatur oleh UUJF tersebut maka akibatnya batal demi hokum.
       Sebagian kalangan menyatakan, bahwa jika pemegang fidusia harus menjual barang jaminan fidusia melalui mekanisme sebagaimana yang diatur oleh UUJF, maka bisa jadi membutuhkan waktu yang lama dan dari segi biaya yang dikeluarkan pun bisa jadi membengkak. Apalagi jika faktanya pinjaman kredit tersebut dengan nominal yang kecil dibawah Rp.20.000.000,- (dua puluh juta rupiah), maka pemegang fidusia khawatir penjualan benda jaminan tersebut tidak bisa mengcover seluruh kewajiban debitor.

Semoga bermanfaat.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama