Oleh : tulisan saya, SH
Emai : babersell@yahoo.com



LATAR BELAKANG MASALAH

PUTUSAN No. 48/Pailit/2012/PN.Niaga.JKT.PST yang menyatakan PT.Telekomunikasi Selular Tbk pailit adalah putusan yang controversial dan banyak terdapat kelemahan didalam penerapan hukumnya,oleh karena itu Penulis tertarik untuk menganalisa dan mengkaji Putusan tersebut, walaupun putusan Tersebut telah dibatalkan oleh Mahkamah Agung dalam PUTUSAN KASASI No. 704 K/Pdt.Sus/2012 .
PT Telekomunikasi Selular Tbk (Telkomsel) untuk selanjutnya disebut Telkomsel dan PT Prima Jaya Informatika memulai kerja sama pada 1 Juni 2011 sampai batas waktu Juni 2013 dengan komitmen awal Telkomsel menyediakan voucher isi ulang bertema khusus olahraga. Namun kemitraan ini menimbulkan kasus, karena pada Juni 2012 Telkomsel memutuskan kontrak karena menilai PT Prima Jaya Informatika tidak memenuhi aturan yang dipersyaratkan
Kisruh Telkomsel dengan PT Prima Jaya Informatika berawal dari dihentikannya pasokan produk prabayar Kartu Prima mulai Juni 2012 lalu. PT Prima Jaya Informatika sebagai mitra mengajukan permohonan pailit kepada Telkomsel karena dianggap mempunyai utang jatuh tempo atas penyediaan kartu Prima.
Perusahaan telekomunikasi terbesar di Indonesia, Telkomsel diputuskan pailit dalam Putusan No. 48/Pailit/2012/PN.Niaga.JKT.PST oleh majelis hakim Pengadilan Niaga Jakarta. Majelis hakim permohonan pailit tersebut  terdiri dari Agus Iskandar, Bagus Irawan, dan Noer Alli.
Menurut majelis, permohonan pailit yang diajukan PT Prima Jaya Informatika telah memenuhi syarat-syarat Undang-undang kepailitan yaitu Telkomsel terbukti memiliki utang jatuh tempo yang dapat ditagih oleh PT Prima Jaya Informatika sebesar Rp5,3 miliar dan sejumlah kreditur lain, seperti PT Extend Media Indonesia senilai Rp21.031.561.274 dan Rp19.294.652.520. Gugatan yang diajukan oleh CEO PT Prima Jaya Informatika, Tonny Djaya Laksana, oleh karenanya terbukti memenuhi unsur Pasal 2 Ayat (2) Undang-Undang (UU) Kepailitan, yang Yaitu adanya utang yang jatuh tempo dan dapat ditagih serta terdapat minimal dua kreditor.
Penerapan hukum atas Putusan Pailit terhadap Telkomsel dinilai sangat controversial dan tidak masuk akal, karena sebuah Perusahaan Telekomunikasi Terbesar di Indonesia dengan asset triliunan rupiah, dapat dengan mudah dipailitkan hanya dengan utang sebesar 5.3 Miliar yang itupun adalah Purchase Order yang dianggap Sebagai Utang. Dan dalam kasus ada kekhilafan hakim didalam memutuskan perkara tanpa memperhatikan asas hukum "exceptio non adimpleti contractus".[1]Artinya  pihak lawan dalam keadaan lalai, maka dengan demikian tidak dapat menuntut pemenuhan prestasi pihak lain. Selain itu dalam legal standing dalam perjanjian kerja sama tersebut PT Prima Jaya Informatika sebagai Pemohon pailit (sebagai kreditor) dan Telkomsel (sebagai Debitor) yang memiliki aset dan laba triliunan rupiah sebagai perusahaan yang masih sangat solven telah terjadi kekeliruan dalam penafsiran hukum antara siapa sebagai kreditor dan siapa sebagai Debitor di dalam Perjanjian kerja sama tersebut.

PERMASALAHAN
  • Apakah PUTUSAN No. 48/Pailit/2012/PN.Niaga.JKT.PST terhadap PT. Telekomunikasi Selular Tbk (Telkomsel), sudah sesuai dengan Hukum Kepailitan dan asas-asas hukum Kepailitan ?

ANALISA DAN PENJELASAN

Kepailitan merupakan suatu proses dimana seorang debitor yang mempunyai kesulitan keuangan untuk membayar utangnya dinyatakan pailit oleh pengadilan, dalam hal ini Pengadilan Niaga, dikarenakan debitor tersebut tidak dapat membayar utangnya. Harta debitor dapat dibagikan kepada para kreditor sesuai dengan peraturan pemerintah. Dalam hal seorang debitor hanya mempunyai satu kreditor dan debitor tidak membayar utangnya dengan suka rela, maka kreditor akan menggugat debitor secara perdata ke Pengadilan Negeri yang berwenang dan seluruh harta debitor menjadi sumber pelunasan utangnya kepada kreditor tersebut. Hasil bersih eksekusi harta debitor dipakai untuk membayar kreditor tersebut. Sebaliknya dalam hal debitor mempunyai banyak kreditor dan harta kekayaan debitor tidak cukup untuk membayar lunas semua kreditor, maka para kreditor akan berlomba dengan segala cara, baik yang halal maupun yang tidak, untuk mendapatkan pelunasan tagihannya terlebih dahulu.[2]
Kepailitan adalah merupakan pelaksanaan lebih lanjut dari prinsip paritas creditorium dan prinsip pari passau prorate parte dalam rezim hukum harta kekayaan (vermogensreechts). Prinsip paritas creditorium berarti bahwa semua kekayaan debitor baik yang berupa barang bergerak ataupun barang tidak bergerak maupun harta yang sekarang telah dipunyai debitor dan barang-barang di kemudian hari akan dimiliki debitor terikat kepada penyelesaian kewajiban debitor.[3]
Sehingga berlaku prinsip Prinsip Pari Passu Pro Rata Parte Prinsip pari passu pro rata parte berarti bahwa harta kekayaan tersebut merupakan jaminan bersama untuk para kreditor dan hasilnya harus dibagikan secara proporsional diantara mereka, kecuali jika antara para kreditor itu ada yang menurut undang-undang harus didahulukan dalam menerima pembayaran tagihannya.[4]
Indonesia telah melakukan dua kali penggantian Undang-Undang Kepailitan. Pertama, Faillissementsverordening (Staatblad 1905 Nomor 217 juncto Staatblad 1906 Nomor 348) yang tetap berlaku sampai dengan tahun 1998. Kemudian lahir Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang- Undang tentang Kepailitan menjadi Undang-Undang. Selanjutnya, Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 menggantikan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998. Berdasarkan dua kali perubahan Undang-Undang Kepailitan tersebut dapat dilihat
bahwa perlindungan terhadap kepentingan kreditor bertambah tegas. Hal ini dapat dilihat dari ketentuan persyaratan permohonan pernyataan pailit, penundaan kewajiban pembayaran utang, dan ketentuan lainnya, misalnya sita umum, actio paulina dan gijzeling. Namun demikian, dalam praktek penegakan Undang-Undang Kepailitan perlindungan labih mengarah kepada kepentingan kreditor.[5]
Pengertian Kepailitan menurut UU Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang No. 37 Tahun 2004 adalah :
“Sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini (pasal 1 ayat (1)”
Syarat untuk dapatnya dijatuhi kepailitan sebagaimana diatur di dalam pasal 2 ayat (1) yang berbunyi :
“ Debitor yang mempunyai dua atau lebih Kreditor dan ridak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya “
Sedangkan dalam Pasal 1 ayat (1) Faillssement verordening (Fv), menentukan bahwa “ setiap orang berutang yang berada dalam keadaan berhenti membayar hutang-utangnya, dengan putusan hakim baik atas pelaporannya sendiri ataupun atas permintaan seorang atau lebih para berpiutangnya, dinyatakan dalam keadaan pailit.”
Berdasarkan rumusan tersebut dapat diketahui bahwa syarat pailit yaitu debitor dalam keadaan berhenti membayar utang-utangnya. Dan terdapat Yurisprudensi yang menjelaskan apa yang dimaksud dengan keadaan berhenti membayar, yaitu :[6]
1)      Putusan Hogeraad tanggal 22 Maret 1946 (dalam Nederlandse jurisprudentie (N.J) 1946, 233) menyebutkan bahwa “ keadaan berhenti membayar “ tidak sama dengan keadaan kekayaan tidak cukup untuk membayar utang-utangnya yang sudah dapat ditagih, melainkan bahwa debitor tidak membayar utang-utang itu.
2)      Putusan Hogeraad tanggal 6 Desember 1951 (dalam Nederlandse jurisprudentie (N.J) 1953, 7) menyebutkan bahwa “ keadaan berhenti membayar “ merupakan keadaan debitor yang tidak membayar karena keadaan overmacht
3)      Putusan Pengadilan Tinggi bandung Tanggal 13 Juli 1973 (171/1973/Perd/PTB), menyebutkan bahwa “berhenti membayar tidak harus diartikan naar de letter yaitu debitor berhenti sama sekali untuk membayar utang-utangnya, tetapi bahwa debitor tersebut pada waktu diajukan permohonan pailit berada dalam keadaan tidak dapat membayar utang tersebut.”

       Berdasarkan Pasal 8 ayat (4) Undang-undang No.37 Tahun 2004 Tentang kepailitan dan PKPU menyatakan bahwa : “ Permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana disyaratkan dalam Pasal 2 ayat (1) telah terpenuhi.”
Dan pada dasarnya terdapat perbedaan mengenai syarat kepailitan dalam Undang-undang yang lama dengan yang terbaru, yang pada akhirnya diterapkan oleh hakim dalam menafsirkan syarat kepailitan menjadi sangat dangkal.

TENTANG DUDUK PERKARA SECARA SINGKAT

Pemohon Pailit (PT.Prima Jaya Informatika ) di dalam melakukan kegiatan usahanya telah melakukan suatu perikatan hukum dengan Termohon Pailit (Telkomsel), sebagaimana dari Perjanjian Kerjasama tentang Penjualan Produk Telkomsel antara PT.Telekomunikasi Selular dan PT.Prima Jaya Informatika Nomor PKS Telkomsel: PKS.591/LG.05/SL-01/VI/2011, Nomor: PKS Prima Jaya Informatika: 031/PKS/PJI-TD/VI/2011, tanggal 01 Juni 2011.
Inti  Perjanjian adalah :
PT.Telekomunikasi Selular  Menyediakan voucher isi ulang dan  Kartu  perdana (Rp 5,2 milliar) PT.Prima Jaya Informatika bersedia Menjual 120 juta voucher dan 10 juta Kartu Perdana serta Membentuk komunitas Prima (10 juta anggota) .
Tanggal 9 Mei 2012  PT.Prima Jaya Informatika melakukan pemesanan produk pada Telkomsel
20 & 21 Juni 2012 = PT.Prima Jaya Informatika sekali lagi melakukan pemesanan produk  pada Telkomsel,  dan Telkomsel menolak pemesanan PT.Prima Jaya Informatika melalui email 21 Juni 2012 karena PT.Prima Jaya Informatika belum melakukan pembayaran atas pesanan yang sebelumnya .
Kemudian PT.Prima Jaya Informatika mengajukan permohonan pailit terhadap PT Telkomsel pada PN Niaga Jakarta Pusat (48/Pailit/2012/PN Niaga. JKT. PST)
Dengan Alasan : Telkomsel seolah-olah memiliki utang atau kewajiban yang dapat dinyatakan dengan uang dan telah jatuh waktu akibat tidak melaksanakan perjanjian 
Mengakibatkan kerugian 5,3 M pada PT.Prima Jaya Informatika

ANALISA PUTUSAN

Di dalam perjanjian kerja sama antara PT Telkomsel dengan PT.Prima Jaya Informatika, pada dasarnya harus dilihat terlebih dahulu kedudukan hukumnya didalam Perjanjian kerja sama tersebut antara siapa sebagai Kreditor yang sebenarnya dan siapa sebagai Debitor yang sebenarnya.
Menurut Pasal 1 Angka (3) UU Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang No. 37 Tahun 2004, yang dimaksud Debitor adalah :
“ orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau Undang-undang yang pelunasannya dapat ditagih di muka pengadilan. “
Dan menurut Pasal 1 Angka (2), yang dimaksud Kreditor adalah :
 “ orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau Undang-Undang yang dapat ditagih di muka pengadilan.”
Kreditor adalah orang yang berdasarkan hubungan pribadi mempunyai hak subyektif  untuk menuntut pemenuhan tagihannya dari debitor dan pada dasarnya berhak untuk memperoleh pembayaran atas tagihannya tersebut atas harta kekayaan debitor (Polak, 1997: 12). Agar dapat digolongkan sebagai kreditor sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Kepailitan, maka kreditor harus dapat menuntut tagihannya di muka pengadilan. Oleh sebab itu, apa yang dikenal sebagai perikatan alami (natuurlijke verbintenis) tidak dapat menjadi dasar untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit. Apakah yang dimaksud dengan natuulirjke  verbintenis adalah  obligation civile manqué oi degeneree (Asser-Rutten, l98l:27-28) artinya perikatan semacam itu tidak dapat dituntut pemenuhannya di muka pengadilan karena ketentuan undang-undang, baik ab initio (dari semula) semisal utang karena perjudian atau pertaruhan (Pasal 1788 KUHPerdata) maupun sesudahnya sebagai akibat daluwarsa yang membebaskan dari suatu kewajiban  (Pasal 1967 KUHPerdata).[7]Secara singkat dapat disimpulkan bahwa didalam suatu perjanjian timbal balik, kreditor adalah pihak yang berhak mendapatkan pembayaran atas sesuatu yang timbul dari perjanjian tersebut, sedangkan Debitur adalah Pihak yang berkewajiban membayar atas suatu yang timbul dari perjanjian yang bersangkutan.
Didalam perjanjian kerjasama antara Telkomsel dengan PT.Prima Jaya Informatika terlihat jelas isi dari perjanjian tersebut Telkomsel memberikan aturan main yang jelas untuk ditaati mitra kerjanya yaitu PT.Prima Jaya Informatika atas perjanjian tersebut. Telkomsel Menyediakan voucher isi ulang dan  Kartu  perdana untuk dijual oleh PT.Prima Jaya Informatika dengan target penjualan 120 juta voucher dan 10 juta Kartu Perdana serta Membentuk komunitas Prima (10 juta anggota), penetapan jumlah penjualan Voucher dan kartu perdana adalah ditetapkan oleh Telkomsel secara sepihak berdasarkan asas kebebasan berkontrak dan disetujui untuk ditaati.
Didalam perjanjian kerja sama tersebut Pihak Telkomsel telah melaksanakan pretasinya dengan menyediakan Voucher isi ulang dan kartu perdana yang telah diminta oleh PT.Prima Jaya Informatika, akan tetapi ternyata PT.Prima Jaya Informatika justru Tidak Melakukan Pembayaran Terhadap PO NO.PO/PKIAK/ V/2012/00000026 tanggal 9 Mei 2012 sebesar Rp4.800.000.000,00 (empat milyar delapan ratus juta Rupiah).
Didalam pelaksanaan perjanjian ini terlihat jelas Telkomsel adalah berkedudukan sebagai kreditor dan PT.Prima Jaya Informatika berkedudukan sebagai Debitor karena mempunyai kewajiban untuk membayar atas apa yang telah diberikan oleh Telkomsel, dan selain terkait barang yang belum dibayar PT.Prima Jaya Informatika juga tidak memiliki pilihan lain selain wajib mentaati Peraturan didalam perjanjian kerjasama tersebut.
Sehingga Syarat untuk dapatnya dijatuhi kepailitan sebagaimana diatur di dalam pasal 2 ayat (1) UU Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang No. 37 Tahun 2004 yang berbunyi
“ Debitor yang mempunyai dua atau lebih Kreditor…..” dimana dalam kasus ini PT Telkomsel di perlakukan atau dianggap sebagai debitor oleh Majelis Hakim Pengadilan Niaga sebagaimana dalam pasal 2 ayat (1) Undang-undang tersebut diatas adalah penafsiran yang keliru dan terbalik.
       Kata   “utang”  sebagaimana tersebut dalam ketentuan Pasal 1 ayat 1 UU No. 4/1998 secara sempit, sehingga hanya mencakup utang yang lahir karena pinjaman uang. Pemahaman yang demikian jelas bukan maksud pembentuk undang-undang. Oleh sebab itu, untuk memperbaiki salah pemahaman tersebut hal itu ditegaskan dalam Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU yang mengambil contoh Pasal 1233 dan Pasal 1234 KUHPerdata, menegaskan bahwa :  “Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari (kontinjen), yang timbul karena perjanjian atau undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh debitor dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditor untuk mendapatkan pemenuhannya dari harta kekayaan debitor”
Adapun contoh utang yang lahir karena undang-undang adalah  “perbuatan melawan hukum” (Pasal 1365 KUHPerdata), negotiorum gestio atau  “zaakwaarneming”  (Pasal 1354-1357 KUHPerdata) dan Pembayaran yang tidak diwajibkan  (Pasal 1359-1364 KUHPerdata). Sementara itu yang dimaksud dengan utang yang lahir karena perjanjian, ketentuan Pasal 1234 KUHPerdata  mengatur bahwa hal itu terdiri dari 
-           Perikatan untuk memberikan sesuatu,
-           Perikatan untuk berbuat sesuatu, atau
-           Perikatan untuk tidak berbuat sesuatu.
Berikut ini dipaparkan beberapa contoh perikatan dimaksud :
-           perikatan dari seorang penjual untuk menyerahkan kepada pembeli barang yang dijualnya;
-           perikatan dari seorang peminjam untuk membayar kembali utang pokok dan membayar bunga yang diperjanjikan kepada kreditornya;
-           perikatan dari seorang penanggung untuk membayar kepada kreditor utang yang ia jamin pembayarannya;
-           perikatan dari seorang pemilik pekarangan yang telah memberikan hak numpang lewat (servituut  = hak pengabdian pekarangan) untuk tidak menutup jalan masuk dan jalan keluar dari pekarangan tersebut.
            Semua perikatan tersebut adalah utang dari debitor (yang terdiri dari penjual, peminjam,dan pemilik pekarangan) sebagaimana dimaksud dalam Pasal l ayat (l) Undang-undang Nomor 4/1998 atau Pasal 2 ayat (l) Undang-undang Nomor 37/2004. Oleh karenanya ia dapat menjadi dasar bagi pemohon untuk mengajukan Permohonan Pernyataa Pailit.[8]
Utang tidak meliputi suatu kewajiban yang timbul akibat dari tindakan wanprestasi, yang dikutip antara lain sebagai berikut:[9]
“…pada hakekatnya hubungan hukum yang ada antara para Termohon kasasi (dahulu termohon asal/PT. Modernland Realty Ltd.) adalah hubungan hukum perikatan jual beli mengenai satuan rumah susun Golf Modern yang dibangun oleh Pemohon Kasasi dengan pembayaran secara angsuran oleh para Termohon Kasasi sehingga karenanya merupakan perikatan antara produsen dan konsumen.
Sedangkan dalam ketentuan Pasal 1 ayat (1) UU No. 4/1998 beserta penjelasannya telah dicantumkan dengan jelas adanya hubungan hukum utang dan bahwa pengertian utang yang tidak dibayar oleh debitur sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini adalah utang pokok dan bunganya.
Bahwa dengan demikian pengertian “utang” dalam Pasal 1 ayat (1) UU No. 4/1998 harus diartikan dalam konteks pemikiran konsiderans tentang maksud diterbitkannya undang-undang tersebut dan tidak dapat dilepaskan kaitan itu daripadanya, yang pada dasarnya menekankan pada pinjam meminjam swasta. Sehingga karenanya tidak meliputi wanprestasi lain yang tidak berawal dari konstruksi pinjam meminjam.”
Dalam kasus perjanjian kerjasama antara Telkomsel dengan PT.Prima Jaya Informatika, yang dimaksud utang oleh PT.Prima Jaya Informatika dalam permohonan pailitnya adalah Purchase Order (PO) atau Perintah Pembelian atau surat Pemesanan Barang yang diterbitkan oleh Pemohon Pailit kepada Termohon Pailit yang sama sekali bukan merupakan bukti adanya utang ataupun kewajiban Termohon Pailit kepada Pemohon Pailit. Bahkan dalam Perjanjian Kerjasama tidak pernah disebutkan bahwa Purchase Order (PO) adalah bukti pembayaran ataupun bukti tagihan kepada Pemohon Pailit. Sehingga dalam hal Syarat Pokok Permohonan kepailitan tentang adanya “ UTANG” menjadi tidak terpenuhi. Di dalam proses beracara dalam hukum kepailitan, konsep utang menjadi sangat penting dan esensial (menentukan) karena tanpa adanya utang maka tidaklah mungkin perkara kepaiiitan akan dapat diperiksa. Tanpa adanya utang, maka esensi kepailitan tidak ada karena kepailitan adalah pranata hukum untuk melakukan likuidasi aset debitor untuk membayar utang utangnya terhadap para kreditornya.[10]
Dan lagi-lagi Majelis hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat keliru didalam menafsirkan Purchase Order sebagai Utang yang menerbitkan kewajiban untuk membayar.
Tindakan Telkomsel dengan tidak memberikan barang atas Purchase Order (PO) sebagaimana yang dipesan kembali oleh PT.Prima Jaya Informatika (yang dianggap sebagai utang) adalah dikarenakan PT.Prima Jaya Informatika telah melakukan Wanprestasi yaitu Tidak Melakukan Pembayaran Terhadap PO NO.PO/PKIAK/ V/2012/00000026 tanggal 9 Mei 2012 sebesar Rp4.800.000.000,00 (empat milyar delapan ratus juta Rupiah) Padahal Pesanan PT.Prima Jaya Informatika tersebut telah disetujui (approved) oleh Telkomsel. Dengan fakta hukum yang terjadi pada perjanjian kerja sama ini PT.Prima Jaya Informatika terlebih dulu melakukan wanprestasi kepada Telkomsel, yang artinya Majelis hakim tidak dapat serta merta menjatuhkan pernyataan pailit kepada Termohon pailit yaitu Telkomsel.
Yang berarti disini Putusan Majelis Hakim Pengadilan Niaga telah keliru dengan tidak mempertimbangkan asas EXCEPTIO NON ADIMPLETI CONTRACTUS. yaitu hakim mengabaikan asas hukum "exceptio non adimpleti contractus". Artinya  pihak lawan dalam keadaan lalai, maka dengan demikian tidak dapat menuntut pemenuhan prestasi pihak lain.[11]Asas Exceptio Non Adimpleti Contractus adalah Tidak dipenuhinya kontrak (wanprestasi) terjadi karena pihak lain juga wanprestasi.[12]Atau bisa berarti sebagai suatu tangkisan, yang mengatakan anda sendiri belum berprestasi dan karenanya anda tidak patut untuk menuntut saya berprestasi.[13]
Oleh karena itu secara Yuridis jika memang PT.Prima Jaya Informatika ingin agar PT Telkomsel memenuhi pesanannya apa yang diminta, maka seharusnya PT.Prima Jaya Informatika membayar terlebih dahulu apa yang menjadi kewajibannya kepada PT Telkomsel.
secara umum diterima pendapat, bahwa para pihak dalam perjanjian tetap harus memenuhi kewajibannya, sekalipun pihak lain wanprestasi (Rutten, loc.cit.). Asas exeptio non adimpleti contractus. Konsekuensinya, seorang penyewa yang mengemukakan, bahwa lawan janjinya wanprestasi, tidak membebaskan dirinya sendiri untuk berprestasi (HgH Batavia 24 Maret 1938, T. 147 : 700).[14]
Asas-asas Undang-undang Kepailitan [15]
1. Undang-undang Kepailitan Harus Dapat Mendorong Kegairahan Investasi Asing, Mendorong Pasar Modal, dan Memudahkan Perusahaan Indonesia Memperoleh Kredit Luar Negeri (Biaya dari luar negeri penting dari waktu ke waktu untuk membiayai pembangunan nasional jadi Indonesia harus mempunyai hukum Kepailitan yang diterima secara global (globally accepted principles)
2. Undang-undang Kepailitan Harus Memberikan Perlindungan yang Seimbang bagi Kreditor dan Debitor (menjunjung keadilan dan memperhatikan kepentingan keduanya meliputi segi-segi penting yang dinilai perlu untuk mewujudkan penyelesaian masalah utangpiutang secara cepat, adil, terbuka, dan efektif.
sikap yang diambil oleh Majelis Hakim Peninjauan Kembali dalam Putusan No. 024PK/N/1999 dalam perkara antara PT Citra Jimbaran Indah Hotel melawan Ssangyong Engineering & Construction Co. Ltd. yang dalam mengabulkan permohonan Peninjauan Kembali mengemukakan sebagai berikut:
".. .karena Majelis Kasasi telah mengabaikan bunyi penjelasan umum dari makna yang terkandung dalam Perpu No. 1 Tahun 1998 yang telah ditetapkan menjadi undang-undang dengan Undang-undang No. 4 tahun 1998, dimana secara esensial ditentukan bahwa kepailitan penerapannya harus dilakukan/diselesaikan secara adil dalam arti memperhatikan kepentingan Perusahaan sebagai Debitor atau kepentingan Kreditor secara seimbang".
Perlindungan kepentingan yang seimbang itu adalah sejalan dengan dasar Negara RI yaitu Pancasila. Pancasila bukan saja mengakui kepentingan seseorang, tetapi juga kepentingan orang banyak atau masyarakat. Pancasila bukan saja harus memperhatikan hak asasi, tetapi harus memperhatikan juga kewajiban asasi seseorang. Berdasarkan sila "Kemanusiaan yang adil dan beradab" harus dikembangkan sikap tidak semena-mena terhadap orang lain, lebih-lebih lagi terhadap orang banyak, Dalam peristiwa kepailitan terdapat banyak kepentingan yang terlibat, yaitu selain kepentingan para kreditornya juga kepentingan para stakeholders yang lain dari Debitor yang dinyatakan pailit, lebih-lebih apabila Debitor itu adalah suatu perusahaan.
PT.Telekomunikasi Selular Adalah Perusahaan Telekomunikasi Yang Sangat Sehat Dan Dikelola Dengan Sangat Balk Yang Terus Menghasilkan Keuntungan, Proporsi kepemilikan saham Telkom = 65%  Saham Singtel  = 35%  Saham, Dimana Berdasarkan Laporan Keuangan Tahun 2011 Yang Telah Diaudit Dan Membukukan Keuntungan Sebesar Rp.12.823.670.058.017,00 (dua belas triliun delapan ratus dua puluh tiga miliar enam ratus tujuh puluh juta lima puluh delapan ribu tujuh belas Rupiah)[16]Putusan pernyataan pailit yang dikeluarkan oleh Majelis hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat sangat bertentangan dengan asas Undang-undang kepailitan itu sendiri, dengan menciptakan keadaan ketidakpastian Penegak hukum didalam menerapkan Undang-undang kepailitan yang itu sangat mengancam iklim investasi bagi asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Dan pada akhirnya Pihak asing akan beranggapan bahwa Hukum kepailitan di Negara Indonesia ini tidak dapat diterima secara Global.
Asas-asas Undang-undang kepailitan pada umumnya, secara tegas menyatakan “ Putusan pernyataan pailit tidak dapat dijatuhkan terhadap Debitor yang masih Solven.”sikap ini merupakan sikap Faillissement verordening (Fv) sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 ayat (1) sebelum kemudian diubah oleh Perpu No.1 Tahun 1998, dengan bunyi sebagai berikut :
“ Setiap pihak yang berutang (debitur) yang tidak mampu yang berada dalam keadaan berhenti membayar utang-utangnya, dengan putusan hakim, baik atas permintaannya sendiri maupun atas permintaan seorang atau lebih pihak berpiutangnya (kreditornya), dinnyatakan dalam keadaan pailit.” Untuk dapat menetukan debitur dalam keadaan solven atau insolven hanya dilakukan berdasarkan financial audit.[17]Putusan Pernyataan pailit atas Telkomsel ini juga tidak Memberikan Perlindungan yang Seimbang bagi Kreditor dan Debitor (menjunjung keadilan dan memperhatikan kepentingan keduanya meliputi segi-segi penting yang dinilai perlu untuk mewujudkan penyelesaian masalah utang-piutang secara cepat, adil, terbuka, dan efektif. Penerapan pertimbangan hukum yang diambil Majelis hakim Pengadilan niaga hanya melihat dari sisi Pemohon Pailit secara luarnya saja, tanpa melihat kapasitas Termohon Pailit sebagai perusahaan Terbesar Telekomunikasi yang masih sangat Solven dalam melaksanakan kewajiban terhadap mitra kerjanya yang lain. Melihat fakta hukum berdasarkan audit laporan keuangan Telkomsel yang pada tahun 2011 memiliki keuntungan dua belas trilyun lebih, Majelis hakim Pengadilan Niaga telah Khilaf dalam menjatuhkan putusan pernyataan pailit terhadap.Telkomsel tersebut. Majelis Hakim kurang teliti dan berhati-hati didalam menganalisa dan menjatuhkan putusan pernyataan pailit dalam perkara tersebut.
Tujuan Undang-Undang Kepailitan yang pada awalnya untuk melikuidasi harta kekayaan debitor untuk keuntungan para kreditornya, pada perkembangannya mengalami berubahan. Undang-Undang Kepailitan menjadi instrumen penting untuk mereorganisasi usaha debitor ketika mengalami kesulitan keuangan. Hal ini berlaku terhadap kepailitan perusahaan (corporate insolvency). Serangkaian perkembangan Undang-Undang Kepailitan di Amerika Serikat, Inggris, Australia maupun Jerman menunjukkan perubahan yang sama, yaitu mengarahkan kepada sutau proses untuk memaksimalkan nilai on-going business dan mempertahankan keuntungan sosial dari eksistensi bisnis, serta meningkatkan tagihan-tagihan yang dimiliki oleh para kreditor. Pada perkembangan selanjutnya, tujuan hukum kepailitan juga untuk melindungi kepentingan stakeholders. Perlindungan terhadap stakeholders mempunyai suatu tujuan imperatif, yaitu bisnis harus dijalankan sedemikian rupa agar hak dan kepentingan stakeholders dijamin, diperhatikan, dan dihargai dalam suatu kegiatan bisnis. Sebabnya, berbagai pihak tersebut dipengaruhi dan dapat mempengaruhi keputusan dan tindakan bisnis.[18]
Oleh karena itu seharusnya Pengadilan Niaga sebagai Ultimum remedium (Upaya Terakhir) para pelaku bisnis di Indonesia lebih-lebih lagi para penanam modal asing yang menempatkan modalnya di Indonesia harus mendapatkan kepastian hukum yang dapat diterima secara global oleh semua pihak-pihak para pelaku bisnis. Jangan sampai keterbatasan pengetahuan para hakim di Indonesia terutama pada Pengadilan Niaga menjadikan para pelaku-pelaku bisnis menjadi takut untuk menjalankan kegiatan bisnisnya dikarenakan banyaknya putusan-putusan Pengadilan Niaga terutama masalah kepailitan yang controversial dan banyak mengundang kecaman dari berbagai pihak baik dalam negeri maupun diluar negeri.
Disini pentingnya para penegak Hukum terutama para Hakim untuk lebih memahami dan mendalami permasalahan yang terkait masalah Hukum bisnis terutama kepailitan. Karena jika Melihat Undang-undang kepailitannya sendiri UU no.37 Tahun 2004 masih banyak sekali kelemahannya yang itu berarti merupakan celah bagi pihak-pihak yang dapat memanfaatkan kelemahan dari undang-undang itu sendiri untuk menghabisi nyawa perusahaan yang menjadi lawan bisnisnya, karena begitu mudahnya syarat untuk mempailitkan suatu perusahaan, dengan akibat hukum yang begitu kompleks dan besar bagi pihak-pihak yang ada keterkaitannya dengan suatu perusahaan maupun badan yang dipailitkan. Dan jika dari peraturan perundang-undangannya sendiri sudah begitu banyak kelemahan, jika para hakim tidak dituntut untuk lebih progresif dan cerdas didalam menangani permasalahan kepailitan yang dihadapkan kepadanya, bukan tidak mungkin akan menjadi banyak perusahaan maupun badan-badan usaha yang sebenarnya masih solven dan kegiatannya masih aktif  menjadi korban akan kelemahan undang-undang ini.. Akibat dari penegakan hukum kepailitan yang tidak sesuai dengan asas dan prinsip hukum kepailitan dampak yang paling besar adalah investor enggan menanamkan modalnya di Indonesia, karena kurang adanya jaminan perlindungan hukum atas investasinya tersebut. Salah satu jaminan perlindungan hukum yang dinilai tidak kondusif adalah ketentuan tentang hukum kepailitan.

KESIMPULAN DAN PENUTUP

       PUTUSAN No. 48/Pailit/2012/PN.Niaga.JKT.PST yang menjatuhkan putusan pernyataan pailit pada Perusahaan PT.TELEKOMUNIKASI SELULAR.Tbk mengandung hal-hal yang controversial dan dapat dikatakan tidak sesuai dengan asas dan prinsip hukum Kepailitan.
Pertama , dari sisi kedudukan hukum dalam perjanjian kerja sama antara Telkomsel dengan PT.Prima Jaya Informatika, bahwa siapakah kreditor dan debitor yang sebenarnya dalam masalah ini, Pengadilan Niaga Jakarta Pusat telah keliru dalam menafsirkan siapa kreditor dan debitor yang sebenarnya, faktanya Telkomsel adalah kreditor yang sebenarnya sedangkan PT.Prima Jaya Informatika adalah Debitor .sehingga secara otomatis penerapan hukumnya pun juga menjadi keliru.
Kedua, Pengadilan Niaga tidak memperhatikan asas Asas Audi et Alteram Partem, sehingga alat-alat bukti dari Telkomsel yang isinya mengenai kejadian fakta yang sesungguhnya tidak diperhatikan, sehingga Pengadilan Niaga telah khilaf karena didalam Perjanjian kerjasama tersebut ternyata PT.Prima Jaya Informatika telah melakukan Wanprestasi yaitu Tidak Melakukan Pembayaran Terhadap PO NO.PO/PKIAK/ V/2012/00000026 tanggal 9 Mei 2012 sebesar Rp4.800.000.000,00 (empat milyar delapan ratus juta Rupiah) Padahal Pesanan PT.Prima Jaya Informatika tersebut telah disetujui (approved) oleh Telkomsel, sehingga Pengadilan niaga telah khilaf dengan tidak memperhatikan asas hukum "Exceptio Non Adimpleti Contractus". Artinya  pihak lawan dalam keadaan lalai, maka dengan demikian tidak dapat menuntut pemenuhan prestasi pihak lain.
Ketiga, Banyak kejanggalan pada Pertimbangan amar putusan Pengadilan Niaga , yang antara lain pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Niaga, telah secara tegas menyatakan bahwa pengakuan Pemohon Kasasi (Termohon Pailit) di depan persidangan yang menyatakan telah melakukan pembayaran terhadap tagihan kreditor lain tersebut di persidangan oleh Majelis Hakim Pengadilan Niaga dinyatakan merupakan alat bukti yang bersifat sempurna dan bukti tersebut tetap dipertimbangkan, AKAN TETAPI TIBA-TIBA DALAM PARAGRAPH BERIKUTNYA MAJELlS HAKIM MENYATAKAN TIDAK DAPAT DIPERTIMBANGKAN KARENA BUKTI T-13 DAN BUKTI T-14 TIDAK ADA ASLlNYA.[19]Yang hal ini patut diduga bahwa Majelis Hakim yang memutus perkara tersebut tidak obyektif dan tidak netral, yang oleh LSM National Government Monitoring (NGM) Majelis hakim Pengadilan Niaga Jakarta yang memutus pailit PT Telkomsel Tbk dilaporkan ke KY. Mereka dilaporkan karena diduga melanggar kode etik dan pedoman perilaku hakim.[20]


       [2] Bravika Bunga Ramadhani, Tesis Penyelesaian Utang Piutang Melalui Kepailitan (Studi Kasus Pada Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Tentang P.T.Prudential Life Insurance), Program Studi Magister Kenotariatan, Universitas Diponegoro Semarang 2009,
       [3] Sriwijiastuti, Tesis “Lembaga Pkpu Sebagai Sarana Restrukturisasi Utang Bagi Debitor Terhadap Para Kreditor (Studi Kasus Pada PT. Anugerah Tiara Sejahtera)”, program studi magister kenotariatan, program pascasarjana, universitas diponegoro, semarang ,2010, Hlm.21
       [4] Prinsip ini terdiri dari istilah pari passu yaitu bersama-sama memperoleh pelunasan tanpa ada yang didahulukan, dan pro rata parte (proporsional) yaitu dihitung berdasarkan pada besarnya piutang masing-masing dibandingkan terhadap piutang mereka secara keseluruhan terhadap seluruh harta kekayaan debitor.

       [5] Siti Anisah, “ Studi Komparasi terhadap Perlindungan Kepentingan Kreditor dan Debitor dalam Hukum Kepailitan.”, dalam Jurnal Hukum No. Edisi khusus vol. 16 oktober 2009: 30 – 50.
       [6] Erma Defiana Putriyanti, et, all, dalam makalah “ kajian Hukum tentang Penerapan pembuktian sederhana dalam perkara pailit.”
       [7] Agus Subroto, dalam Makalah “pemahaman konsep dasar dan aspek hukum kepailitan Di  indonesia.”
       [8] Ibid.
       [9] Ricardo Simanjuntak, Undang-Undang Kepailitan No. 37 Tahun 2004 dan Undang-Undang Perseroan Terbatas No. 40 Tahun 2007 sehubungan dengan Penyelesaian Kewajiban Perseroan Pailit terhadap para Krediturnya, dalam dalam Prosiding Seminar Nasional Kepailitan “Antisipasi Krisis Keuangan Kedua, Sudah Siapkah Pranata Hukum Kepailitan Indonesia?”, USAID In ACCE Project & AKPI, Jakarta, 29 Oktober 2008, Hlm.24
       [10] Fred BG Tumbuan, “Komentar Atas Catatan Terhadap Putusan No : 14 K/N/2004 jo No :18/Pailit/P.Niaga/Jkt.Pst” dalam Valerie Selvie Sinaga, Analisa Putusan Kepailitan Pada pengadilan Negeri Jakarta, Fakultas Hukum Universitas Katholik Atmajaya, Jakarta, 2005, hlm.34
       [12]  Andi Kisnah Bintang , et.al, “ Asas Exceptio Non Adimpleti Contractus Dalam Perjanjian Kredit”, Program Kenotariatan, FakultasHukum, UniversitasHasanuddin,
       [15] Sutan Remy Sjahdeini, Hukum kepailitan memahami Undang-undang No.37 tahun 2004 tentang kepailitan, pt.pustaka utama graffiti, cetakan ke IV, Jakarta, Januari 2010, Hlm.33-34
[16] P U T U S A N No. 704 K/Pdt.Sus/2012, Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
[17] Sutan Remy Sjahdeini, Op.Cit, Hlm.39
[18]Siti Anisah,Op.cit, Hlm.34-35
       [19] P U T U S A N No. 704 K/Pdt.Sus/2012, Op.Cit , Hlm.36
       [20] http://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/12/09/26/mayqtz-pailitkan-telkomsel-hakim-pengadilan-niaga-dilaporkan-ke-ky
Diakses 26 Mei 2013

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama