OLEH :
tulisan saya, SH
Benih varietas unggul bermutu merupakan penentu batas atas produktivitas suatu usaha tani, baik usaha tani kecil maupun usaha tani besar, dan berlaku bagi semua komoditi pertanian. Dewasa ini kenyataan menunjukkan bahwa penggunaan benih varietas unggul bermutu oleh kalangan petani, besar dan kecil, ternyata pada umumnya masih rendah untuk semua komoditi pertanian. Perkecualian terdapat, antara lain pada usaha pertanian swasta tanaman hortikultura dan perkebunan besar milik pemerintah. Rendahnya tingkat penggunaan benih varietas unggul bermutu untuk segala macam komoditi pertanian sesungguhnya membuka peluang bagi industri perbenihan dalam negeri, baik yang masih dalam taraf penangkar, maupun industri benih yang sudah mampu membuat varietas unggul baru sendiri. Industri perbenihan yang dimaksud adalah industri benih yang mampu membuat varietas-varietas unggul bermutu berbagai komoditi pertanian yang sesuai dengan kondisi ekosistem tempat tumbuh dan memanfaatkan keanekaragaman ekosistem, keanekaragaman jenis dan keanekaragaman plasma nutfah dalam setiap jenis, baik yang masih potensi maupun yang nyata. Industri perbenihan nasional tidak akan tumbuh dan berkembang apabila tidak terdapat jaminan perlindungan terhadap produk varietas unggul baru yang mereka hasilkan. Jaminan yang merupakan hak khusus yang eksklusif untuk mengeksploitasi varietas unggul baru yang dibuatnya, dikenal pula sebagai hak Perlindungan Varietas Tanaman atau juga dikenal sebagai Hak Pemulia Tanaman (Plant Breeder’s Right).[1]
Mengingat pentingnya keberadaan pemulia tanaman ini, pemerintah Indonesia mengeluarkan berbagai instrument yang mengatur terkait pemulia tanaman yaitu Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 Tentang Sistem Budidaya Tanaman dan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2000 Tentang Perlindungan Varietas Tanaman serta Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2006 Tentang Pengesahan International Treaty On Plant Genetic Resources For Food And Agriculture (Perjanjian Mengenai Sumber Daya Genetik Tanaman Untuk Pangan Dan Pertanian). [2]Undang-Undang Sistem Budidaya Tanaman bertujuan untuk meningkatkan serta memperluas keanekaragaman tanaman agar mampu memenuhi kebutuhan pangan rakyat Indonesia, meningkatkan taraf hidup petani, serta diharapkan mampu mendorong perluasan dan pemerataan kesempatan berusaha dan kesempatan kerja.[3]Undang-Undang Perlindungan Varietas Tanaman bertujuan untuk mendorong para peneliti di bidang pemuliaan tanaman meningkatkan hasil penelitiannya sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan sektor pertanian Indonesia yang memiliki daya saing tinggi di pasar global.[4]Sedangkan Undang-Undang Tentang Pengesahan International Treaty On Plant Genetic Resources For Food And Agriculture (Perjanjian Mengenai Sumber Daya Genetik Tanaman Untuk Pangan Dan Pertanian) bertujuan untuk menjaga keanekaragaman sumber daya genetik tanaman untuk pangan dan pertanian.[5]Dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman (PVT), dan mulai diimplementasikan sejak tahun 2004. Namun demikian masih banyak pertanyaan tak terjawab seperti, apakah UU PVT menyediakan kesempatan bagi petani dan masyarakat lokal untuk mendapatkan hak atas ‘varietas dan pengetahuan tradisional” yang telah dikembangkan seperti ‘hak pemulia tanaman’ yang diakomodasi dalam UU PVT, serta atas pemegang hak PVT perusahaan besar, apakah hak-hak petani bisa terlindungi.
RUMUSAN MASALAH
- Bagaimana implementasi perlindungan varietas tanaman di indonesia ?
- Bagaimana perlindungan hukum bagi petani Pemulia Tanaman di Indonesia ?
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Implementasi Perlindungan Varietas Tanaman Di Indonesia
Usaha mengembangkan pembangunan ekonomi yang berbasis pertanian dengan membangun usaha agribisnis yang berkelanjutan perlu memperhatikan keunggulan kompetitif berdasarkan keunggulan komparatif sebagai upaya meningkatkan daya saing, berbasis sumber daya lokal agar mampu bersaing di pasaran internasional .[6] Keunggulan daya saing tersebut dihadapkan pada tantangan preferensi konsumen perubahan bagi konsumen dan produsen dalam mengevaluasi barang yang dikonsumsi dan diproduksi .
Saat ini jumlah temuan varietas unggul bermutu masih rendah, akibat usaha teknologi varietas tanaman masih terbatas pada hasil penelitian lembaga penelitian pemerintah, swasta belum banyak terlibat. Hal tersebut disebabkan adanya suasana yang tidak kondusif untuk mendorong terjadinya inovasi, jaminan perlindungan hukum belum memadai, penghargaan pada inventor varietas tanaman masih rendah, arti dan makna teknologi varitas tanaman dalam perekonomian masih jauh difahami masyarakat. Melalui perlindungan HAKI yang memadai dapat mendorong menghasilkan inovasi varietas tanaman unggul bermutu berbagai komoditi antara lain : komoditi pangan, hortikultura dan perkebunan. Kemampuan agribisnis dalam merespons perubahan pasar secara efisien tergantung pada industri perbenihan. Oleh karena itu, tidak mungkin agribisnis mengalami modernisasi dan memiliki daya saing tanpa didukung oleh kemampuan yang kuat dalam industri perbenihan.
Sunaryati Hartono menyatakan , bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang pangan telah maju dengan pesat, sehingga permasalahannya tidak hanya tertuju pada produk pangan yang dapat dijadikan komoditi potensial bagi peningkatan pendapatan masyarakat dan negara, tetapi juga pada sumber penghasil pangan itu sendiri dapat direkayasa seperti terciptanya varietas tanaman yang dapat menghasilkan produk produk unggulan.[7]
Kemampuan untuk menghasilkan varietas tanaman yang dapat dijadikan bibit unggul sangat diperlukan, karena varietas tanaman merupakan faktor yang menentukan kualitas hasil pertanian. Keuntungan yang diperoleh dari penggunaan varietas yang unggul antara lain varietas tanaman yang digunakan telah berteknologi tinggi, relatif murah, dan tidak mencemari lingkungan. Melalui penggunaan varietas tanaman yang unggul diharapkan proses produksi menjadi lebih efisien, lebih produktif dan menghasilkan bahan pangan yang bermutu tinggi.[8]
Ketentuan hukum di Indonesia yang memberikan perlindungan terhadap varietas tanaman, pada awalnya diatur dalam Undang-Undang Paten (UUP). Dalam UUP Tahun 1989 Pasal 7 huruf c dikatakan bahwa semua varietas tanaman dapat dimintakan hak patennya, kecuali untuk komoditi tanaman padi, jagung, ubi kayu, dan ubi jalar. Selanjutnya UUP mengalami amandemen menjadi UUP Tahun 1997, dimana dalam UUP Tahun 1997 ketentuan pengecualian permohonan paten terhadap varietas tanaman dihapuskan sehingga semua jenis varietas tanaman dapat dimintakan hak paten tanpa kecuali. UUP Tahun 1997 mengalami perubahan menjadi Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten (UUP Tahun 2001). Pada Pasal 7 huruf d diatur bahwa varietas tanaman sebagai makhluk hidup merupakan invensi yang tidak diberikan paten. Invensi merupakan ide dari inventor yang dituangkan kedalam suatu kegiatan pemecahan masalah yang spesifik di bidang teknologi, dapat berupa produk atau proses atau penyempurnaan dan pengembangan produk atau proses .[9]
Perubahan-perubahan aturan perlindungan hak paten yang diberikan terhadap varietas tanaman dilakukan berdasarkan pada pertimbangan bahwa, untuk memenuhi kebutuhan pangan bagi rakyat diperlukan upaya penelitian dan pengembangan kearah invensi teknologi yang dapat menghasilkan bahan pangan dalam jumlah, ragam, dan kualitas yang sebanyak-banyaknya. Namun ketentuan perlindungan varietas tanaman berdasarkan UU Paten belum dapat sepenuhnya memenuhi harapan para pihak pemulia untuk mendapat perlindungan hukum terhadap hasil invensinya.
Perlindungan terhadap varietas tanaman dengan menggunakan hak paten tidak dapat terus dilakukan, dengan alasan :
- Pemegang paten akan memiliki kewenangan secara prinsip untuk melarang penggunaan kembali benih yang telah ditanam oleh petani, dengan konsekuensi akan muncul biaya tinggi bagi petani dan dominasi perusahaan benih besar akan semakin kuat
- Pemuliaan yang berdasarkan pada perlindungan varietas tanaman akan tersingkir, yakni ketika perlindungan paten tidak mendukung jenis invensi yang dihasilkan oleh petani tradisional tidak dimintakan paten dan digunakan secara bebas diantara kelompok petani tersebut
- Pemberian paten memiliki sifat akan adanya hak monopoli pada benih dan/atau tanaman yang menjadi objek produksi serta perdagangan benuh yang penting.
- Pemberian paten akan mendukung standarisasi yang lebih tinggi serta memperkuat kecenderungan ke arah budidaya tunggal sehingga akan mengikis keanekaragaman hayati.
- Pemberian paten juga mendukung bertambahnya kecenderungan monopoli pada pemilikan tanah dan industri benih, yang memungkinkan petani kecil dan pemulis tradisional merasakan dampak terburuk. [10]
Oleh karena itu, dalam rangka mendukung kegiatan pemuliaan tanaman dan memberikan situasi kondusif bagi perkembangan industri perbenihan nasional, maka pada tanggal 20 Desember Tahun 2000 telah disahkan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman (UU PVT).
Perlindungan varietas tanaman (PVT) yang merupakan “sui generis” dari paten merupakan perlindungan terhadap varietas tanaman yang dihasilkan oleh pemulia tanaman yang mengandung unsur Baru, Unik, Seragam, Stabil (BUSS). Dengan adanya Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman, maka keberadaan pemulia yang melakukan pemuliaan akan terlindungi, yang menghasilkan varietas tanaman yang memenuhi ketentuan UU PVT tersebut dapat memperoleh hak PVT dan mendapatkan manfaat ekonomi dari hasil pemuliaannya itu.[11]Perlindungan terhadap hak atas varietas baru tanaman untuk menikmati manfaat ekonomi atas varietas temuannya merupakan salah satu wujud dari penghargaan dan pengakuan atas keberhasilan pemulia dalam menemukan atau mengembangkan varietas tanaman baru. Perlindungan ini tidak terdapat di dalam perundang-undangan sebelum berlakunya UU PVT. Hak ekonomi ini merupakan bentuk penghargaan yang diatur dalam UU PVT yang diberikan kepada pemulia yang telah melakukan kegiatan pemuliaan, dan hak PVT ini bersifat eksklusif. UU PVT yang memberikan perlindungan hukum bagi pemulia untuk menikmati manfaat ekonomi dan hak-hak lainnya yang dimiliki pemulia, diharapkan dapat mendorong kreativitas di bidang pemuliaan tanaman, sehingga dapat dihasilkan berbagai penemuan varietas unggul bermutu yang mendukung industri perbenihan modern.
Perbedaan mendasar antara Undang-Undang No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman dan UU PVT adalah perlindungan terhadap hak ekonomi yang dimiliki oleh pemulia. Undang-Undang No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman tidak memberikan perlindungan terhadap hak ekonomi yang dimiliki pemulia, tetapi memberikan perlindungan terhadap hak moral pemulia. Sedangkan UU PVT disusun sebagai usaha untuk memberikan perlindungan hukum atas kekayaan intelektual pemulia dalam menghasilkan varietas tanaman, termasuk di dalamnya hak pemulia untuk menikmati manfaat ekonomi dan hak-hak lainnya.
PVT diberikan kepada varietas dari jenis atau spesies tanaman yang baru, unik, seragam, stabil dan diberi nama. Suatu varietas dianggap baru apabila saat penerimaan permohonan hak PVT, bahan perbanyakan atau hasil panen dari varietas tersebut belum pernah diperdagangkan atau sudah diperdagangkan tetapi tidak lebih dari setahun, atau telah diperdagangkan diluar negeri tidak lebih dari empat tahun untuk tanaman semusim dan enam tahun untuk tanaman tahunan. Kriteria dianggap unik bila varietas tersebut dapat dibedakan secara jelas dengan varietas lain yang keberadaannya telah diketahui secara umum pada saat penerimaan permohonan hak PVT.[12]Dalam UU PVT diberikan suatu hak khusus yang dimaksudkan untuk menegaskan pengakuan atas adanya hak yang dimiliki oleh pemilik/pemegang hak, yaitu hak untuk melarang atau memberi ijin penggunaan secara komersial dari hak pemulia tersebut. Hak yang di maksud adalah Hak Perlindungan Varietas Tanaman (Hak PVT).
Dalam Hal ini Undang-undang memberikan hak eksklusif kepada seorang pemulia yang menghasilkan satu varietas unggul bermutu untuk mengeksploitasi temuannya tersebut, akan mendorong para pemulia atau kelembagaan industri benih yang mempekerjakan pemulia, untuk berinvestasi dalam kegiatan pemuliaan dan akan berkontribusi besar terhadap pengembangan pertanian. Latar belakang pemikiran tersebut merupakan inti landasan mengapa suatu varietas unggul bermutu yang baru harus diberi perlindungan berupa Hak PVT sebagaimana diatur dalam UU RI No. 29 Th. 2000 Tentang PVT, dengan tujuan utama adalah mengembangkan dan membangun industri perbenihan nasional guna mengantisipasi era globalisasi (persaingan terbuka), masalah pangan nasional, kependudukan, ketenagakerjaan dan pendapatan masyarakat secara luas, serta pemanfaatan kekayaan sumber daya hayati nasional.[13] Teori Robert M. Sherwood adalah Economic Growth Stimulus Theory. Teori ini mengakui bahwa perlindungan atas HAKI adalah merupakan suatu alat dari pembangunan ekonomi, berupa keseluruhan tujuan dibangunnya suatu sistem perlindungan atas HAKI yang efektif.[14]
Dalam penerapan dan pelaksanaannya ternyata terbukti bahwa Pemuliaan masih sangat sedikit, terutama yang dilakukan oleh petani-petani. Meskipun Undang-undang memberikan hak eksklusif kepada seorang pemulia yang menghasilkan satu varietas unggul bermutu untuk mengeksploitasi temuannya tersebut.
Salah satu contoh pelaksanaan dilakukan oleh Universitas Gajah Mada (UGM) bekerja sama dengan PT.Unilever Indonesia telah berhasil menemukan varietas unggul kedelai hitam yang disebut Malika. Dan pihak UGM tidak mengajukan permohonan pendaftaran hak perlindungan varietas tanaman, dan berdasarkan SK Menteri Pertanian no.78/Kpts/SR.120/2/2007 pada tanggal 7 Februari 2007 Malika dilepas sebagai Varietas unggul nasional. Dan hasil penelitian pula menunjukkan bahwa di Daerah Istimewa Yogyakarta belum ada petani/ peneliti yang mendaftarkan hak PVT. Akan tetapi Pemerintah Kota dan Kabupaten di DIY telah mendaftarkan varietas local masing-masing 9 (Sembilan) Varietas local.[15]Disini terlihat bahwa masing sangat jarang sekali petani maupun yang mendaftarkan Hak PVT nya. Hal ini sangat mengkhawatirkan bagi hak-hak kaum petani yang dalam ilmu pengetahuannya tentang penemuan dan pengembangan akan varietas suatu tanaman masih tergolong sangat rendah. Hal ini bukan tidak mungkin menjadi ajang kesempatan bagi perussahaan-perusahaan yang memiliki modal besar dan teknologi serta ilmu pengetahuan yang tinggi untuk andil sangat besar didalam mengambil kesempatan ini, yang pada akhirnya para petani local hanya menjadi alat untuk penjualan produk unggulannya tersebut.
Perlindungan Hukum Bagi Petani Pemulia Tanaman
Konsistensi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 Tentang Sistem Budidaya Tanaman dalam Memberikan Perlindungan Hukum terhadap Hak-Hak Petani Pemulia Tanaman.
Pada ketentuan yang terdapat dalam pasal 9 ayat (3) berbunyi sebagai berikut:
Kegiatan pencarian dan pengumpulan plasma nutfah sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), dapat dilakukan oleh perorangan atau badan hukum berdasarkan izin.
Ketentuan ini mewajibkan perorangan dan badan usaha dalam mencari dan mengumpulkan plasma nutfah harus memperoleh izin terlebih dahulu dari pemerintah. Maka ketentuan ini juga berlaku bagi petani pemulia tanaman yang masuk dalam kategori perorangan. Dengan demikian badan hukum dan perorangan harus melewati cara yang sama dalam melakukan pencarian dan pengumpulan plasma nutfah yakni harus memperoleh ijin dari menteri.
Pasal selanjutnya adalah pasal 12 yang berbunyi:
(1) Varietas hasil pemuliaan atau introduksi dari luar negeri sebelum diedarkan terlebih dahulu dilepas oleh Pemerintah.
(2) Varietas hasil pemuliaan atau introduksi yang belum dilepas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilarang diedarkan.
(3) Ketentuan mengenai syarat-syarat dan tata cara pelepasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan di atas juga memberikan aturan yang sama bagi perorangan dan badan usaha apabila ingin melakukan pelepasan terhadap hasil pemuliaan tanaman. begitu pula pada pasal 14 yang berbunyi:
(1) Sertifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2), dilakukan oleh Pemerintah dan dapat pula dilakukan oleh perorangan atau badan hukum berdasarkan izin.
(2) Ketentuan mengenai persyaratan dan perizinan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur lebih lanjut oleh Pemerintah.[16]
Pemberlakukan aturan yang sama terhadap badan hukum dan perorangan. Hal ini tentu menimbulkan ketidakadilan bagi petani pemulia tanaman di Indonesia yang memiliki kemampuan yang berbeda dengan badan hukum baik dari segi sumber daya manusia dan materiil mengingat proses yang harus dilakukan rumit dan membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Maka dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 Tentang Sistem Budidaya Tanaman masih belum konsisten memberikan perlindungan hukum bagi hak-hak petani pemulia tanaman di Indonesia.[17]
Pada akhirnya Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian pengujian sejumlah pasal UU No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman melalui pengujian materiil dengan memberi tafsir konstitusional bersyarat. Dalam putusannya, MK menyatakan inkonstitusional bersyarat terhadap kata “perseorangan” dalam Pasal 9 ayat (3) UU Sistem Budidaya Tanaman tidak termasuk petani kecil. Artinya, petani kecil dibebaskan mengembangkan varietas unggul tanpa harus mendapat izin pemerintah.
“Kata ‘perseorangan’ dalam Pasal 9 ayat (3) UU Sistem Budidaya Tanaman dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, dikecualikan untuk perorangan petani kecil,”
Sehingga redaksional Pasal 9 ayat (3) berubah menjadi berbunyi, “Kegiatan pencarian dan pengumpulan plasma nutfah sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), dapat dilakukan oleh perorangan atau badan hukum berdasarkan izin kecuali untuk perorangan petani kecil.”
Demikian pula Pasal 12 ayat (1) UU Sistem Budidaya Tanaman dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, dikecualikan untuk perorangan petani kecil dalam negeri. Sehingga redaksional Pasal 12 ayat (1) berubah menjadi berbunyil, “Varietas hasil pemuliaan atau introduksi dari luar negeri sebelum diedarkan terlebih dahulu dilepas oleh Pemerintah kecuali hasil pemuliaan oleh perorangan petani kecil dalam negeri.”
kegiatan pencarian dan pengumpulan plasma nutfah oleh badan hukum harus berdasarkan izin. Hal ini bisa menimbulkan kerugian serius bagi petani. Misalnya mengumpulkan plasma nutfah ternyata setelah diedarkan, tanpa izin dan tanpa dilepas oleh Pemerintah, hasilnya tidak baik atau kurang atau malahan tanpa hasil. Tetapi, bagi perorangan petani kecil yang sehari-hari kehidupan mereka di sektor pertanian tidak mungkin akan berbuat sesuatu yang merugikan diri mereka sendiri. “Sebagai petani kecil warga negara Indonesia, Pemerintah yang berkewajiban memajukan kesejahteraan umum, harus membimbing dengan melakukan pendampingan kepada mereka, bukan malahan mempersulit mereka dengan keharusan mendapatkan izin. [18]
Konsistensi Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2000 Tentang Perlindungan Varietas Tanaman dalam Memberikan Perlindungan Hukum terhadap Hak-Hak Petani Pemulia Tanaman.
Dalam Pasal 1 Undang-undang Nomor 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman ini yang dimaksud dengan:
1. Perlindungan Varietas Tanaman yang selanjutnya disingkat PVT, adalah perlindungan khusus yang diberikan negara, yang dalam hal ini diwakili oleh Pemerintah dan pelaksanaannya dilakukan oleh Kantor Perlindungan Varietas Tanaman, terhadap varietas tanaman yang dihasilkan oleh pemulia tanaman melalui kegiatan pemuliaan tanaman;
2. Hak Perlindungan Varietas Tanaman adalah hak khusus yang diberikan negara kepada pemulia dan/atau pemegang hak Perlindungan Varietas Tanaman untuk menggunakan sendiri varietas hasil pemuliaannya atau memberi persetujuan kepada orang atau badan hukum lain untuk menggunakannya selama waktu tertentu;
3. Varietas tanaman yang selanjutnya disebut varietas, adalah sekelompok tanaman dari suatu jenis atau spesies yang ditandai oleh bentuk tanaman, pertumbuhan tanaman, daun, bunga, buah, biji, dan ekspresi karakteristik genotipe atau kombinasi genotipe yang dapat membedakan dari jenis atau spesies yang sama oleh sekurang-kurangnya satu sifat yang menentukan dan apabila diperbanyak tidak mengalami perubahan;
4. Pemuliaan tanaman adalah rangkaian kegiatan penelitian dan pengujian atau kegiatan penemuan dan pengembangan suatu varietas, sesuai dengan metode baku untuk menghasilkan varietas baru dan mempertahankan kemurnian benih varietas yang dihasilkan.
5. Pemulia tanaman yang selanjutnya disebut pemulia, adalah orang yang melaksanakan pemuliaan tanaman.
Undang-Undang ini memfasilitasi perkembangan bioteknologi modern yang memproduksi varietas yang baru melalui rekayasa genetika. Namun, UU ini kurang memberikan perlindungan terhadap varietas tradisional yang telah dikembangkan oleh petani, karena sangat sulit bagi petani dengan varietas tradisionalnya untuk memenuhi kriteria seragam dan stabil sebagaimana disyaratkan oleh UU PVT. Dalam kaitannya dengan hak-hak pemulia dan hak-hak petani, UU PVT memberikan perlakuan yang tidak sama antara hak-hak pemulia dan hak-hak petani, dan mempromosikan perlindungan yang kurang seimbang antara kepentingan umum dan kepentingan pemegang hak PVT. Hal ini disebabkan karena UU PVT ini dibuat untuk melindungi hak-hak pemulia, peneliti dan pemulia tanaman yang komersial, dan bukan untuk melindungi hak-hak petani.[19]
Hak-hak petani di Indoensia tidak tercantum dalam UU Nomor 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman (PVT) dan UU Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman (SBT). Kedua peraturan perundang-undangan itu hanya melindungi hak-hak pemulia varietas tanaman atau pembenih yang biasanya merupakan perusahaan benih. Selain itu kedua UU tersebut (UU PVT, SBT) bersama UU Paten tidak menguntungkan petani karena memang tidak dirancang untuk menguntungkan dan melindungi petani. UU itu hanya dirancang untuk melindungi peneliti, industri pertanian dan bioteknologi sebagai bagian dari perjanjian ekonomi global, WTO.[20]Undang-undang ini bisa sangat membahayakan petani karena mengekang kreativitas petani untuk menemukan atau proses pemulian varietas tanaman, sehingga dapat juga mengakibatkan terhalanginya akses orang atau individu/kelompok petani terhadap pemenuhan hak atas pangan.[21]
Didalam Undang-Undang PVT tersebut terlihat pemberian perlindungan kepada pemulia tanaman secara umum tanpa memberikan perlindungan khusus kepada petani. Perlindungan yang diberikan berupa hak eksklusif yang sifatnya individual atas varietas baru yang telah terdaftar.
Perlindungan mengenai Hak Petani (Farmer’s Rights) di dalam UU PVT sangatlah minim. Hal ini dapat dilihat dengan hanya terdapatnya satu ketentuan terkait dengan hak istimewa petani (farmer’s privilage) yang diatur dalam UU PVT. Ketentuan yang mengatur mengenai hak istimewa petani terdapat Dalam pasal 7 disebutkan bahwa “Varietas lokal milik masyarakat dikuasai oleh Negara”. Ketentuan ini berarti varietas lokal yakni varietas yang telah ada dan dibudidayakan secara turun temurun oleh petani, serta menjadi milik masyarakat dikuasai oleh negara10. Dengan ketentuan ini maka petani dapat menggunakan varietas tersebut tanpa perlu membayar karena varietas itu pada dasarnya menjadi milik petani yang penguasaannya dilakukan oleh negara. Dan kedua ada pada Pasal 10 ayat 1 (a) UU PVT tentang hal-hal yang tidak dianggap sebagai pelanggaran terhadap hak PVT. Ketentuan Pasal 10 Ayat 1 (a) UU PVT tersebut berbunyi: “Tidak dianggap sebagai pelanggaran hak PVT apabila: “
a. Penggunaan sebagian hasil panen dari varietas yang dilindungi, sepanjang tidak untuk tujuan komersial.
Dalam penjelasan Pasal 10 Ayat 1(a) UU PVT ini disebutkan bahwa:
“Yang di maksud dengan tidak untuk tujuan komersial adalah kegiatan perorangan terutama para petani kecil untuk keperluan sendiri dan tidak termasuk kegiatan kegiatan menyebarluaskan untuk keperluan kelompoknya. Hal ini perlu ditegaskan agar pangsa pasar bagi varietas yang memiliki PVT tadi tetap terjaga dan kepentingan pemegang hak PVT tidak dirugikan.”
Ketentuan mengenai hak istimewa petani (farmer’s privilage) dalam ketentuan Pasal 10 Ayat 1(a) UU PVT ini, bertujuan untuk melindungi hak petani kecil untuk menyimpan sebagian hasil panen (benih) dari varietas tanaman yang dilindungi untuk digunakan kembali pada musim tanam berikutnya. Namun kategori “petani kecil” yang memperoleh hak istimewa petani (farmer’s previlage) ini tidak terdapat pengaturannya dalam UU PVT Tidak terdapatnya definisi dari “petani kecil” yang dapat memperoleh hak istimewa petani (farmer’s previlage) dapat menciptakan multitafsir dan ketidakpastian hukum dalam pelaksanaannya. Tanpa adanya ketentuan yang mengatur mengenai kategori petani yang dapat memperoleh hak istimewa petani (farmer’s previlage), maka petani akan sangat rentan terhadap dakwaan melakukan propagasi yang dilarang undang-undang maupun sertifikasi liar. Selain mengenai definisi dari “petani kecil”. Istilah “tidak untuk tujuan komersial” dan “untuk keperluan sendiri” yang digunakan dalam penjelasan Pasal 10 Ayat 1(a) UU PVT juga dapat ditafsirkan sebagai pembatasan terhadap kegiatan petani untuk menjual atau mengkomersialkan hasil akhir varietas tanaman yang dilindungi (yang juga merupakan hasil panen) dari tanaman yang ditanamnya sendiri.
Pasal 6 ayat (3) huruf h yang menyatakan bahwa, “Hak untuk menggunakan varietas sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) huruf h meliputi kegiatan: h. mencadangkan untuk keperluan sebagaimana dimaksud dalam butir a, b, c, d, e, f, dan g.”
Bahwa dengan ketentuan Pasal 6 ayat (3) huruf h yang mana hak untuk mencadangkan untuk menjual atau memperdagangkan, dan manawarkan yang merupakan hak Pemulia Tanaman dengan kata lain pihak selain Pemulia Tanaman yang tanpa seijin Pemulia Tanaman, berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 6 ayat (3) Huruf H, tidak diperkenankan untuk mencadangkan untuk keperluan-keperluan yang terdapat dalam butir a-g Pasal 6 ayat (3) bertentangan dengan praktik-praktik tradisonal petani yang cenderung bercorak kegotong-royongan. Pembatasan hak petani dalam pemulian benih jelas tidak sesuai dengan Pasal 28 C (1) UUD 1945, dimana, “Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.” [22]
KESIMPULAN DAN PENUTUP
Kaitan perlindungan hukum dengan hak asasi manusia juga tersirat dalam UUD 1945 (Hasil Amandemen) Pasal 28 D Ayat (1) yang menyatakan “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Sedangkan Pasal 28 I Ayat (2) menyatakan : “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu”.
Undang-undang Nomor 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman memang memberikan hak eksklusif kepada seorang pemulia yang menghasilkan satu varietas unggul bermutu untuk mengeksploitasi temuannya tersebut, yang secara ekonomis sangat menguntungkan bagi pihak pemulia varietas tersebut. Namun disisi lain Undang-Undang Perlindungan Varietas Tanaman hanya memberikan sedikit perlindungan terhadap petani pemulia tanaman melalui keberadaan pasal 7 dan pasal 10. Namun perlindungan tersebut sifatnya implisit dan terdapat beberapa persyaratan dibaliknya sehingga belum mampu mengakomodasi hak-hak petani pemulia tanaman di Indonesia.
Pada dasarnya, pengetahuan tradisional dapat dilindungi dengan perundangundangan sistem sui generis atau mandiri di luar HKI, sebab melihat karakteristik yang berbeda antara HKI dan pengetahuan tradisional, maka akan sulit perlindungan pengetahuan tradisional dimasukkan dalam perundang-undangan HKI. Perlindungan bagi pengetahuan tradisional yang paling memungkinkan dilakukan pemerintah Indonesia sekarang adalah dengan memperkuat database atas pengetahuan tradisional yang ada di Indonesia. Hal ini digunakan sebagai dasar bahwa pengetahuan tradisional tersebut memang menjadi milik Indonesia sehingga ketika ada pihak lain yang mengklaim Indonesia sudah mempunyai dasar yang kuat untuk menolak.
pemerintah juga perlu membentuk regulasi yang isinya memberi perlindungan atas pengembangan benih yang dilakukan petani. Pasalnya, setiap daerah punya benih yang khas dan petani membudidayakannya untuk memenuhi kebutuhan benih. Atas dasar itu petani di daerah tergolong mampu memenuhi kebutuhan akan benih. Untuk menjaga kondisi itu ia mengusulkan agar subsidi pemerintah untuk petani diarahkan pada pengembangan dan membudidayakan benih tanaman lokal. pemerintah harus merevisi bermacam kebijakan lama yang berkaitan dengan sistem pembenihan. Misalnya, selama ini pemerintah mengucurkan subsidi benih. Namun bantuan itu mengakibatkan petani kecil tidak punya kesempatan menciptakan dan mengedarkan benih. Mengacu hal tersebut pemerintah dituntut untuk melibatkan petani dalam pemuliaan benih. pemuliaan benih yang dilakukan, petani mampu menghasilkan ribuan varietas untuk satu jenis tanaman. Seperti padi, petani mampu menghasilkan sampai 6 ribu varietas, sedangkan perusahaan yang memproduksi benih hanya bisa menciptakan varietas yang jumlahnya sedikit.[23]pemuliaan benih yang dilakukan petani bersinggungan dengan kedaulatan pangan. Oleh karena itu, pembudidayaan benih yang dilakukan petani dapat menjawab persoalan ketahanan pangan yang dihadapi Indonesia. Namun ia mengingatkan masalah ketahanan pangan berkaitan dengan sebuah proses yang panjang. Mulai dari produksi sampai distribusi.
[1] Achmad Baihaki, http://anekaplanta.wordpress.com/2008/01/13/manfaat-dan-implementasi-uu-no-29-th-2000-tentang-pvt-dalam-pembangunan-industri-perbenihan/
Diakses 5 Mei 2013
[8] Sarifudin Karama, Fenomena Hasil Pelepasan Varietas, Kesiapan Industri Perbenihan dan Dampaknya Pada
Konservasi Plasma Nutfah Oleh Para Petani, Simposium Nasional Pengelolaan Plasma Nutfah dan Pemulihan
Tanaman, Bogor 22-23 Agustus 2000, hlm. 2.
2001, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 4130 Tahun 2001, Pasal 1 Bagian 2
[13] Achmad Baihaki, http://anekaplanta.wordpress.com/2008/01/13/manfaat-dan-implementasi-uu-no-29-th-2000-tentang-pvt-dalam-pembangunan-industri-perbenihan/
Diakses 5 Mei 2013
[14] Sherwood Robert M., Intellectual Property and Economic Development: Westview Special Studies in Science,Technology and Public Agency, Westview Press Inc, San Fransisco, 1990., dikutip dari Nina Nurani, artikel “Paten Sebagai Alternatif Perlindungan Hukum Bagi Inventor Teknologi Varietas Tanaman Meningkatkan Daya Saing Agribsinis Mendukung Pembangunan Ekonomi”, Hlm.7
Diakses 5 Mei 2013
[16]Ira Puspita Sari Wahyuni, Jurnal Ilmiah,..Op.Cit, Hlm.6
[17]Ibid.hlm.7
[18] Ringkasan Permohonan Perkara Registrasi Nomor : 99/PUU-X/2012 Tentang “Hak-hak Petani Dalam Melakukan Kegiatan Pemuliaan Tanaman”
[20] Agus Sardjono sebagai Ahli Hukum dari Universitas Indonesia (UI) dalam acara Dialog Petani tentang Perlindungan Varietas Tanaman yang diselenggarakan Aliansi Petani Indonesia (API), Third World Network (TWN) dan UNDP di Jakarta, dikutip dari http://www.mail-archive.com/cikeas@yahoogroups.com/msg22720.html
Posting Komentar